Sukarno, sang pemimpin revolusi, bukan hanya disingkirkan oleh Soeharto dan TNI dalam sebuah kudeta terselubung. Ia bukan hanya menyaksikan pengikut setianya dibantai, dipenjara tanpa pengadilan, atau dipaksa bungkam dalam ketakutan. Tragedi terbesar Bung Karno justru terjadi setelah ia wafat: anak-cucunya sendiri mengkhianati semua yang pernah ia perjuangkan.
PDIP, yang digadang-gadang sebagai partai pewaris ideologi Sukarno, kini hanya menjadikan namanya sebagai komoditas politik. Sukarno dijajakan ke mana-mana, seperti barang dagangan yang dilelang kepada pembeli terbesar. Ketika butuh dukungan rakyat, nama Sukarno dipuja-puja. Namun, ketika kepentingan elit berbicara, ajaran dan prinsipnya diinjak-injak demi pragmatisme kekuasaan.
Lebih ironis lagi, keluarga Bung Karno sendiri kini lebih mendekat ke ajaran dan model kepemimpinan Soeharto—sosok yang dulu menggulingkan dan mengkhianati Bung Karno. Prinsip anti-imperialisme, kemandirian ekonomi, dan politik berdikari yang diperjuangkan mati-matian oleh Sukarno, kini digantikan oleh model pembangunan ala Orde Baru yang justru merusak kedaulatan bangsa.
Pengkhianatan ini semakin nyata ketika PDIP, di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, justru menjadi motor utama pengesahan RUU TNI yang kontroversial. RUU ini membuka jalan bagi kembalinya dominasi militer dalam kehidupan sipil—sebuah langkah mundur yang mengingatkan kita pada masa kelam Orde Baru. Lebih dari sekadar mendukung, PDIP bahkan menjadi pimpinan dalam perancangan RUU ini.
Bagaimana mungkin partai yang mengaku sebagai penerus Sukarno justru merangkul kembali bayang-bayang Orde Baru? Bukankah Sukarno adalah pemimpin yang berjuang mati-matian agar militer tunduk kepada kekuasaan sipil, bukan sebaliknya?
Bung Karno, jika saja engkau bisa bangkit dari kuburmu, mungkin engkau akan lebih kecewa kepada anak-cucumu sendiri ketimbang kepada mereka yang dulu merobohkanmu. Sebab, pengkhianatan dari keluarga sendiri adalah luka yang paling dalam, lebih menyakitkan daripada tikaman musuh di medan perang.