Sebagai sebuah langkah besar untuk membangun ekonomi berbasis desa, program Koperasi Desa Merah Putih yang diinisiasi oleh pemerintah terlihat sangat menjanjikan di atas kertas. Dengan target membentuk 70.000 koperasi di seluruh pelosok negeri, gagasan ini dapat dipandang sebagai upaya ambisius untuk mengatasi ketimpangan ekonomi. Namun, apakah upaya yang "cepat dan seragam" ini benar-benar mampu menjawab kebutuhan setiap desa? Mari kita telaah lebih jauh.
Pertama-tama, penting untuk memahami bahwa desa-desa di Indonesia sangat beragam. Tiap desa memiliki prioritas yang berbeda-beda, bergantung pada potensi lokal dan kebutuhan spesifik masyarakatnya. Sebagai contoh, desa di kawasan pesisir tentu menghadapi tantangan berbeda dibandingkan desa yang mayoritas penduduknya bekerja di sektor agraris. Pemaksaan pembentukan koperasi yang seragam tanpa menyesuaikan dengan kondisi lokal berpotensi menyebabkan program ini kehilangan relevansinya.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa kualitas koperasi yang dibentuk akan terabaikan demi mengejar kuota. Ketika fokus utama terletak pada jumlah, ada risiko bahwa koperasi hanya akan menjadi "proyek formalitas" yang pada akhirnya sulit bertahan dalam jangka panjang. Pengelolaan koperasi membutuhkan sumber daya manusia yang terampil, dedikasi tinggi, dan pendampingan berkelanjutan. Tanpa hal-hal tersebut, koperasi bisa menjadi wadah kosong yang gagal memberikan manfaat nyata.
Hal lain yang patut dikritisi adalah kurangnya pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan. Program yang top-down cenderung menimbulkan resistansi di tingkat masyarakat karena mereka merasa tidak memiliki kepemilikan terhadap inisiatif tersebut. Koperasi sejatinya harus lahir dari kebutuhan dan aspirasi masyarakat, bukan dari pemaksaan kebijakan.
Sebagai contoh konkrit, bayangkan sebuah desa agraris kecil yang dipaksakan untuk memiliki koperasi multifungsi tanpa adanya analisis kebutuhan. Masyarakat desa mungkin lebih membutuhkan dukungan teknologi pertanian daripada pendirian koperasi yang fokus pada distribusi barang kebutuhan pokok.
Selain itu, revitalisasi koperasi yang sudah ada juga bisa menjadi sumber konflik. Banyak koperasi lama yang sudah beroperasi dengan sistem dan pola kerja yang stabil. Pemaksaan untuk menyesuaikan diri dengan visi Koperasi Desa Merah Putih dapat memunculkan friksi internal yang pada akhirnya justru melemahkan keberadaan koperasi itu sendiri.
Pada akhirnya, visi besar di balik Koperasi Desa Merah Putih tidak salah, tetapi pendekatan yang dilakukan perlu dievaluasi ulang. Pemerintah harus lebih fleksibel, mendengarkan kebutuhan masyarakat, dan memastikan bahwa program ini tidak sekadar menjadi pencapaian administratif, melainkan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat desa.