Setiap Idul Fitri, umat Islam diajarkan untuk saling memaafkan. Namun, apakah ini berarti rakyat harus memaafkan dosa-dosa pemerintah yang korup dan represif begitu saja? Apakah Idul Fitri menjadi momentum bagi penguasa culas untuk mencuci tangan dari kesalahan mereka?
Memaafkan adalah ajaran luhur, tetapi keadilan juga merupakan prinsip yang tidak boleh dikorbankan. Memaafkan individu yang bersalah dalam kehidupan pribadi berbeda dengan memaafkan sistem yang telah merampas hak rakyat, menghisap kekayaan negara, dan menindas suara-suara kritis. Jika rakyat terbiasa memaafkan tanpa menuntut pertanggungjawaban, maka korupsi akan terus berulang, dan kesewenang-wenangan akan dianggap lumrah.
Lebih dari sekadar memaafkan, rakyat harus tetap menuntut akuntabilitas. Pemimpin yang telah menyalahgunakan kekuasaan harus menghadapi konsekuensi, bukan sekadar meminta maaf di depan kamera lalu melanjutkan praktik korup mereka. Idul Fitri bukan hari untuk membebaskan para perampok uang negara dari dosa mereka, melainkan hari yang seharusnya menjadi refleksi
apakah pemimpin benar-benar telah bertaubat dengan tindakan nyata, atau hanya menggunakan momentum ini untuk meredam kemarahan rakyat?
Memaafkan bukan berarti melupakan. Dan lebih penting lagi, memaafkan tidak berarti membiarkan kejahatan terus berlangsung tanpa hukuman.