Dulu, bangsa ini dikenal dengan adat yang menjunjung tinggi rasa malu dan sopan santun. Nilai-nilai ini menjadi fondasi budaya kita, mencerminkan kehormatan dan kebijaksanaan leluhur. Namun kini, di era media sosial, nilai-nilai itu tampaknya semakin terkikis. Masyarakat dari berbagai latar belakang—baik yang berpendidikan maupun tidak, kaya maupun miskin—berlomba-lomba memutus urat malu demi mengejar recehan dari Meta.
Privasi yang dulu dianggap sakral kini diumbar tanpa ragu. Dari keseharian hingga aib keluarga, semuanya dipertontonkan demi satu tujuan: viral. Bahkan sopan santun pun terkadang dikorbankan. Tak jarang kita melihat konten yang dibuat dengan memaksakan diri, hanya demi memenuhi “kewajiban” algoritma untuk selalu hadir di linimasa. Seakan-akan hidup kita kini hanyalah bahan bakar untuk mesin besar bernama Meta.
Ironisnya, ini dilakukan tanpa kesadaran akan dampaknya. Demi recehan yang tidak seberapa, kita rela menjual harga diri dan martabat, seolah-olah hidup hanya tentang jumlah likes, views, atau komentar. Padahal, harga sosial yang kita bayar jauh lebih mahal: penghormatan terhadap privasi hilang, nilai-nilai budaya luntur, dan masyarakat semakin terjebak dalam perilaku konsumtif dan dangkal.
Di mana rasa malu kita sebagai bangsa? Apakah kita sudah lupa bahwa adat dan budaya adalah warisan yang seharusnya dijaga, bukan dijual murah untuk konten viral? Adakah kita menyadari bahwa sikap ini justru memperkuat cengkeraman penjajahan digital, menjadikan kita semakin tergantung pada platform asing yang tidak peduli pada dampak sosial dan budaya yang ditimbulkannya?
Jika kondisi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin kita akan menjadi bangsa tanpa identitas, terjebak dalam budaya instan yang hanya mengejar popularitas sesaat. Kita perlu kembali pada akar budaya kita, mengingatkan diri bahwa rasa malu bukan kelemahan, tetapi kekuatan yang menjaga martabat kita sebagai bangsa.
Mari berhenti sejenak dan merenung: Apakah harga viral lebih berharga dari harga diri? Atau sudah saatnya kita bangkit, menata ulang cara kita menggunakan teknologi, dan menjadikannya alat yang memperkuat nilai-nilai, bukan menghancurkannya? Pilihan ada di tangan kita.