Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mengharuskan desa mengalokasikan 20% Dana Desa untuk ketahanan pangan yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Sekilas, kebijakan ini terlihat mulia, mengingat ketahanan pangan merupakan isu strategis nasional. Namun, jika kita telisik lebih dalam, kebijakan ini menyimpan sejumlah masalah mendasar yang dapat mengancam efektivitas penggunaannya dan bahkan menimbulkan polemik di tingkat desa.
Kesiapan BUMDes: Tantangan Utama
BUMDes di banyak desa belum memiliki kesiapan yang memadai untuk mengelola program ketahanan pangan. Tidak sedikit BUMDes yang bahkan belum memiliki unit usaha yang jelas, apalagi pengalaman di sektor pangan. Kondisi ini memicu risiko pengelolaan yang tidak optimal, yang pada akhirnya dapat berujung pada hilangnya manfaat Dana Desa.
Pengalaman menunjukkan bahwa program ketahanan pangan di masa lalu sering menjadi masalah. Ada kasus ternak yang hilang, kematian hewan, dan alasan-alasan lain yang berujung pada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ini menjadi bukti bahwa tanpa persiapan matang, alokasi dana hanya menjadi formalitas yang tidak berdampak nyata bagi masyarakat.
Ketidakcocokan Konsep dengan Kondisi Desa
Konsep desa tematik pangan yang menjadi dasar kebijakan ini juga patut dipertanyakan. Desa memiliki karakteristik yang sangat beragam – dari desa pesisir, pegunungan, hingga desa kota. Tidak semua desa cocok untuk menjadi pusat produksi pangan. Memaksakan satu pendekatan untuk semua desa jelas tidak realistis. Belum lagi, isu ini dihubungkan dengan program makan gratis dari Badan Gizi Nasional, yang seolah menambah beban tanpa mempertimbangkan kondisi riil desa.
Hingga kini, definisi dan verifikasi desa tematik pangan masih abu-abu. Siapa yang menentukan desa tematik? Apa indikator verifikasinya? Tanpa panduan yang jelas, kebijakan ini berisiko menjadi proyek yang tergesa-gesa dan hanya mengejar target administratif.
Demokrasi Desa Terciderai
Kebijakan ini juga menodai prinsip demokrasi musyawarah desa. Setelah Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) disepakati melalui musyawarah, tiba-tiba muncul regulasi baru yang memaksa perubahan alokasi dana. Hal ini dapat memicu ketidakpuasan di masyarakat dan menjadi bumerang bagi pemerintah desa. Kelompok warga yang sebelumnya setuju dengan alokasi APBDes bisa saja mempertanyakan kebijakan ini, yang berpotensi memecah solidaritas masyarakat.
Potensi Korupsi dan Ketidakjelasan Arah
Dengan arah kebijakan yang cenderung dipaksakan, risiko korupsi menjadi semakin besar. Ketika desa dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan regulasi yang tidak sesuai dengan kondisi lokal, peluang penyalahgunaan dana meningkat. Desa yang tidak siap akan cenderung mencari jalan pintas, yang akhirnya merugikan masyarakat.
Harapan di Tengah Kekacauan
Meski demikian, kita tetap perlu optimis. Kebijakan ini, jika dikelola dengan baik dan disesuaikan dengan kondisi lokal, dapat menjadi peluang bagi desa untuk beradaptasi dan mandiri. Pemerintah perlu melibatkan dinas pertanian dan peternakan lokal dalam perencanaan dan pelaksanaan. Selain itu, pelatihan intensif bagi pengelola BUMDes harus menjadi prioritas agar desa mampu menjawab tantangan ini.
Kita berharap kebijakan ini tidak hanya menjadi beban tambahan bagi desa, tetapi menjadi langkah awal untuk menciptakan desa yang maju dan mandiri. Dengan sinergi dan pendampingan yang tepat, desa bisa memainkan peran strategis dalam ketahanan pangan nasional, tanpa mengorbankan kemandirian dan demokrasi yang menjadi hak mereka.