Perencanaan pembangunan desa yang tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan desa, baik dalam bentuk dokumen RPJMDes maupun RKPDes pada prinsipnya adalah perencanaan yang menggambarkan program dan kegiatan.Model perencanaan seperti ini pada dasarnya dapat dikatakan sebagaimodel perencanaan yang sangat sederhana.
Mengingat dalam proses perencanaan yang modern, dimensi kewilayahan (regional) dan spasial (tata ruang) adalah variabel penting dalam proses perencanaan perencanaan pembangunan. Untuk itu dibutuhkan suatu rencana yang berdimensi ruang untuk dapat mengatur pemanfaatan lahan dan pembangunan di desa sekaligus sebagai suatu sarana dalam pemanfaatan dana desa, karena dokumen RPJMDes, RKPDes dan APBDes tidak memuat rencana secara spasial.
Selain dari padaitu, rencanapembangunan keruangan ditingkatdesadiperlukan untukmenjagakualitaslingkungandanbudaya di desa tetap seimbang, seiring dengan peningkatan permintaan akan pembangunan perumahandankegiatanekonomiwilayahyang menjadi semakin kompleks di wilayah desa. Artinyadalamhalinidesajugamemilikifungsi wilayah baik itu secara ekologi,ekonomi, maupun sosialdan budaya yangtetap harus dipertahankan melalui perencanaan spasial maupun a-spasial. Perencanaan spasial merupakan rencana pemanfaatan ruang yang disusun untuk menjaga keserasian pembangunan antar sektor dalam rangka penyusunan program-program pembangunan dalam jangka panjang (Nurmandi, 1999)14.
Oleh karena itu, rencana tata ruang dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam penyusunan rencana program pembangunan yang merupakan rencana jangka menengah dan jangka pendek.
Perencanaan tata ruang desa ini sejatinya adalah bagian dari upaya desa untuk menata, memanfaatkan dan mengelola wilayahnya sebagaimana kewenangan yang dimiliki oleh desa. Dalam konteks perencanaan kawasan perdesaan inilah, perencanaan tata ruang desa menjadi penting sebagai penataan secara cluster-ing di masing-masing desa.
Menurut Undang-Undang Penataan Ruang, hukum penataan ruang adalah hukum yang berwujud struktur ruang (ialah susunan pusat -pusat pemukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional) dan pola ruang (ialah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya)
Dalam konteks penataan pola ruang yang mengambarkan distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang untuk fungsi lindung dan fungsi budi daya, maka proses penetapannya melibatkan kewenangan supra desa.
Khususnya dalam hal ini kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Sebut saja diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang memandatkan kepada pemerintah pusat untuk menetapkan kawasan hutan. Selain itu Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria (Selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Pokok Agraria) yang juga memberikan kewenangan pada pemerintah pusat menetapkan Hak atas Tanah. Seperti yang disebutkan di atas, bahwa proses penetapan kawasan perdesaan merupakan pertemuan dari proses perencanaan top-down dan bottomup , dimana bupati/walikota dapat menetapkan secara langsung penetapan kawasan perdesaan dengan persetujuan dari kepala-kepala desa yang dimana desanya termasuk ke dalam kawasan yang akan ditetapkan, demikian pula proses sebaliknya, kepala-kepala desa yang bersepakat untuk mengusulkan desanya masuk dalam satu kawasan kepada bupati/walikota untuk ditetapkan sebagai kawasan perdesaan.
Di sinilah konteks penataan ruang desa jika dikaitkan dengan konteks perencanaan kawasan perdesaan menjadi signifikan, dimana desa telah mempersiapkan diri dalam proses penataan ruangnya. Sebagai sebuah inisiasi bottom up planning. Karena itu, perwujudan tata ruang desa dapat dikatakan tidak bersifat imperatif (memaksa) untuk dihadirkan atau mandatory provision namun lebih bersifat fakultatif (mengatur) atau directory provision untuk dihadirkan.