Oleh Reza A.A Wattimena
Dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Dari sudut pandang ini, Pancasila adalah kesepakatan yang mengikat jutaan orang yang hidup di ribuan pulau untuk hidup bersama dalam satu payung politik yang disebut sebagai Indonesia. Pancasila menampung keberagaman suku, ras, agama dan beragam turunan identitas sosial lainnya. Ia memang dirancang untuk menampung perbedaan, dan mengarahkan itu semua pada satu tujuan, yakni keadilan dan kemakmuran untuk seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali.
Bangsa yang Tersesat
Namun, karena beragam sebab, bangsa kita tersesat. Pancasila tetap dipegang, namun hanya sila pertama yang terus menjadi perhatian. Sila pertama ini bahkan digunakan untuk bersikap tidak adil terhadap keberagaman agama yang ada. Ketidakadilan terhadap kelompok agama minoritas, dan penindasan yang berkepanjangan terhadap hak-hak perempuan, seolah dibenarkan oleh sila pertama ini.
Bangsa kita pun beragama, tanpa kemanusiaan. Agama jatuh menjadi sekedar tampilan luar dan ritual hampa semata. Agama diterapkan, tanpa memperhatikan keadilan sosial dan hak-hak asasi perempuan. Rumah-rumah ibadah mewah dibangun disamping kemiskinan jutaan orang yang hidup di sekitarnya. Agama jatuh ke dalam kemunafikan yang tak masuk di akal sehat.
Akibatnya, bangsa kita pun semakin terbelakang. Di dunia yang sibuk mencari sumber energi terbarukan, dan berniat mencari tempat hidup di luar bumi, kita terus berdebat soal politik identitas, seperti pakaian perempuan dari sudut pandang agama, dan korupsi yang bersembunyi di balik kemunafikan agamis. Kita tertinggal dari seluruh dunia. Para pemimpin bangsa kita juga sibuk memperkaya diri dengan korupsi dari penderitaan ratusan juta rakyatnya.
Kesenjangan sosial menjadi semakin tajam. Yang kaya semakin kaya, bukan karena usaha, tetapi karena warisan orang tua, atau karena korupsi. Yang miskin terus miskin, bahkan semakin sulit hidupnya. Kekayaan sumber daya, yang seharusnya digunakan untuk kepentingan bersama, dicuri oleh sekelompok orang kaya yang lalu berlomba menjadi pejabat negara.
Dua Sila Terpenting
Pada hemat saya, ini semua terjadi, karena kita melupakan dua sila terpenting. Kita melupakan sila kedua di Pancasila, yakni kemanusiaan yang adil dan beradab. Kita juga melupakan sila kelima, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Padahal, dua sila itulah yang terpenting, karena ia menjadi dasar bagi ketiga sila lainnya, yakni terkait Ketuhanan, Demokrasi dan Persatuan bangsa.
Jika sila kemanusiaan (sila kedua) dan sila keadilan sosial (sila kelima) dipenuhi, maka ketiga sila lainnya (persatuan, ketuhanan dan demokrasi) akan terpenuhi. Idealnya memang, kelima sila tersebut terwujud secara bersama. Namun, sumber daya untuk mencapai itu tentu terbatas. Prioritas kiranya diperlukan.
Pertama, ketika kita beragama dengan kemanusiaan dan keadilan, hidup beragama kita menjadi sempurna. Iman kita tidak hanya menjadi ajaran semata. Ia terwujud di dalam keseharian, terutama dalam hubungan dengan orang dan mahluk hidup lain. Kita membangun hubungan yang sempurna tidak hanya dengan Tuhan (vertikal), tetapi juga dengan mahluk hidup di sekitar kita (manusia-alam).
Dua, persatuan Indonesia yang sejati bisa terwujud, jika didasari kemanusiaan dan keadilan. Banyak gerakan pemberontakan di Indonesia lahir dari ketidakadilan sosial sekaligus pelanggaran hak-hak asasi manusia yang berkepanjangan. Para korban memutuskan memberontak, karena mereka tidak mampu lagi menahan penindasan yang terjadi. Berkoar-koar soal persatuan Indonesia, tanpa ada rasa kemanusiaan dan keadilan sosial yang nyata, adalah penindasan yang berselubung kemunafikan.
Tiga, dengan dasar kemanusiaan dan keadilan sosial, demokrasi juga bisa secara nyata terwujud di Indonesia. Demokrasi tidak lagi hanya soal pemilihan umum semata. Apalagi, di Indonesia, pemilihan umum semacam itu kerap dikotori oleh suap menyuap dan kebodohan yang berakar pada radikalisme agama. Dengan kemanusiaan dan keadilan sosial, demokrasi yang sejati, yang terwujud dalam keseharian, pun menjadi kenyataan di seluruh Indonesia.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Tujuan utamanya memang merombak struktur dan budaya di Indonesia, supaya menempatkan kemanusiaan dan keadilan sosial sebagai unsur utama kehidupan. Ada tiga hal yang penting untuk diperhatikan. Pertama, kita harus mengubah seluruh arah pembangunan. Kemanusiaan dan keadilan sosial harus menjadi unsur utama yang nyata di dalam semua kebijakan yang dibuat.
Dua, untuk mengubah arah pembangunan, maka wacana terkait kemanusiaan dan keadilan sosial harus terus disebarkan secara luas. Berbagai seminar, buku maupun beragam aktivitas di dunia digital terkait dua tema ini harus disebarkan seluas mungkin. Penyebaran wacana ini harus diikuti dengan pembentukan gerakan sosial yang nyata, mulai dari gerakan otonom mahasiswa sampai dengan gerakan organisasi non pemerintah yang lebih luas.
Tiga, berbagai bentuk penyimpangan harus ditindak tegas. Setiap perubahan, termasuk ke arah yang baik, akan selalu melahirkan pertentangan. Sejauh ditempuh dengan jalan demokratis, dan dengan data maupun argumen yang masuk akal, kritik tentu diharapkan. Namun, perlawanan yang merusak harus segera ditindak tegas, sehingga tidak menciptakan budaya pembiaran di masyarakat.
Perlu diingatkan, Pancasila adalah satu kesatuan. Kelima sila tersebut harus saling melengkapi satu sama lain. Hanya dengan begitu, Indonesia bisa sungguh mencapai cita-cita luhurnya, yakni keadilan dan kemakmuran untuk semua, tanpa kecuali. Namun, dengan segala keterbatasan yang ada, tak semua sila bisa menjadi nyata. Dalam keadaan itu, sila kemanusiaan dan keadilan sosial harus menjadi acuan utama yang bisa memayungi semua sila lainnya. Ini jalan yang harus kita tempuh bersama.***