PENERAPAN TEKNOLOGI MITIGASI DAN ADAPTASI DALAM MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS PERTANIAN UNTUK MENGADAPI PERUBAHAN IKLIM

 

 


 IPAN ZULFIKRI

Universitas Siliwangi

Korespondensi : ipanzulfikri@gmail.com

 

 

ABSTRAK

 

Perubahan iklim terjadi sebagai salahsatu dampak dari peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir, baik yang berasal dari ekosistem alami maupun ekosistem buatan termasuk sektor pertanian yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Gas rumah kaca yang dominan di atmosfir adalah karbon dioksida (CO2), metan (CH4) dan nitrous oksida (N2O). Paper ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan dan menjelaskan sebuah fenomena. Adapun teknik pengumpulan datanya menggunakan metode studi pustaka untuk mendapatkan data-data sekunder. Teknologi Mitigasi dapat dilakukan dengan Penggunaan varietas padi rendah emisi, Penggunaan pupuk ZA sebagai sumber pupuk N dan Aplikasi teknologi tanpa olah tanah. Sementara Teknologi irigasi berselang (intermittent) dapat mengurangi emisi gas metana dari lahan sawah. Penghematan air irigasi dapat dilakukan dengan cara pengairan berselang (mengairi lahan dan mengeringkan lahan secara periodik dalam jangka waktu tertentu), dan sistem leb (mengairi lahan kemudian dibiarkan air mengering, lalu diairi lagi). Kemudian Teknologi Adaptasi adalah dengan Penyesuaian waktu dan pola tanam, Penggunaan varietas unggul tahan kekeringan, rendaman, dan salinitas, Teknologi panen hujan dan Teknologi irigasi.

 

Kata kunci: Iklim, Mitigasi, Adaptasi

 

 

ABSTRACT

 

Climate change occurs as one of the impacts of increasing greenhouse gas (GHG) emissions in the atmosphere, both from natural and artificial ecosystems, including the agricultural sector, which results in global warming. The dominant greenhouse gases in the atmosphere are carbon dioxide (CO2), methane (CH4) and nitrous oxide (N2O). This paper uses a descriptive qualitative approach which aims to describe and explain a phenomenon. The data collection technique uses the literature study method to obtain secondary data. Mitigation technology can be done by using low-emission rice varieties, using ZA fertilizer as a source of N fertilizer and applying technology without tillage. Meanwhile, intermittent irrigation technology can reduce methane gas emissions from paddy fields. Irrigation water savings can be done by means of intermittent irrigation (irrigating the land and drying the land periodically within a certain period of time), and the leb system (irrigating the land then allowing the water to dry, then irrigating it again). Then the Adaptation Technology is by adjusting the time and cropping pattern, the use of high yielding varieties that are resistant to drought, soaking, and salinity, rain harvesting technology and irrigation technology.

Keywords : Climate, Mitigation, Adaptation

 

 



PENDAHULUAN

 

Indonesia berada di daerah tropis sehingga pertanian di Indonesia merupakan pertanian tropika. Keberadaan di daerah tropis yang dilewati oleh garis khatulistiwa ini memberi pengaruh pada sektor pertanian. Di samping pengaruh khatulistiwa, ada dua faktor alam lain yang ikut memberi corak pertanian Indonesia. Pertama, bentuknya sebagai kepulauan dan kedua, topografinya yang bergunung-gunung. Indonesia juga berada di antara dua lautan besar yaitu Lautan Indonesia dan Lautan Pasifik, serta dua benua besar yaitu Australia dan Asia, hal ini ikut mempengaruhi iklim Indonesia terutama dalam perubahan arah angin dari daerah tekanan tinggi ke daerah tekanan rendah. Bentuk tanah yang bergununggunung memungkinkan adanya variasi suhu udara yang berbeda-beda pada suatu daerah tertentu.

Perubahan iklim terjadi sebagai salahsatu dampak dari peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir, baik yang berasal dari ekosistem alami maupun ekosistem buatan termasuk sektor pertanian yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Gas rumah kaca yang dominan di atmosfir adalah karbon dioksida (CO2), metan (CH4) dan nitrous oksida (N2O). Potensi kekuatan dalam pemanasan global CH4 21 kali dan N2O 290 kali lebih besar dari CO2.

Sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak terkena dampak pemanasan global. Perubahan iklim yang menjadikan musim menjadi tak menentu membuat petani kesulitan dalam menentukan waktu tanam, selain itu terjadinya banjir dan longsor di berbagai daerah pada musim hujan dan kekeringan berkepanjangan pada musim kemarau menyebabkan petani sering mengalami gagal panen yang kemudian berdampak pada ketahanan pangan nasional. Ironisnya, sebagai sektor yang paling banyak terkena dampak pemanasan global, pertanian juga merupakan penyumbang gas rumah kaca (GRK) global. Secara umum, sektor pertanian menyumbang emisi GRK anthropogenik dalam pemanasan global sebesar 20% dimana 90% dari jumlah tersebut berasal dari pertanian daerah tropik. Indonesia sendiri sebagai negara berkembang di daerah tropik sudah menjadi salah satu pemasok GRK terbesar didunia setelah Amerika dan Cina.

Besarnya kehilangan gas CO2 dari sektor pertanian disebabkan oleh praktik budidaya pertanian yang tidak berkelanjutan. Pembakaran lahan dan pembajakan tanah merupakan contoh budidaya pertanian yang memacu emisi GRK. Pembakaran lahan bukan hanya menghasilkan GRK, tetapi juga merusak tanah.

 

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

 

A.  Kajian Teori

1.      Perubahan Iklim

Iklim adalah rata-rata cuaca dimana cuaca merupakan keadaan atmosfer pada suatu saat di waktu tertentu. Iklim didefinisikan sebagai ukuran rata-rata dan variabilitas kuantitas yang relevan dari variabel tertentu seperti temperatur, curah hujan atau angin pada periode waktu tertentu, yang merentang dari bulanan hingga tahunan atau jutaan tahun. Iklim berubah secara terus menerus karena interaksi antara komponen-komponennya dan faktor eksternal seperti erupsi vulkanik, variasi sinar matahari, dan faktor-faktor disebabkan oleh kegiatan manusia seperti misalnya perubahan pengunaan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil.

 

2.      Emisi Gas Rumah Kaca

Secara alamiah, gas rumah kaca dihasilkan dari kegiatan manusia sehari-hari, namun sejak tahun 1950-an emisi gas CO2 meningkat secara drastis yang disebabkan oleh semakin majunya industri yang berbanding lurus dengan konsumsi energi. Kegiatan manusia sehari-hari yang merupakan penghasil gas rumah kaca di antaranya adalah penggunaan energi listrik, aktivitas menggunakan kendaraan bermotor, membakar sampah, dan sebagainya. Selain itu, gas metana juga terbentuk dari limbah aktivitas manusia seperti sisa nasi dan sayuran yang berasal dari pertanian menggunakan pestisida dan konsumsi daging dari hewan di peternakan dimana kotoran hewan tersebut juga merupakan penghasil gas metana.

Efek rumah kaca sejatinya dibutuhkan untuk menjaga suhu bumi agar perbedaan suhu antara siang dan malam tidak terlalu besar. Namun efek rumah kaca yang berlebihan akan menyebabkan pemanasan global dimana suhu di bumi akan naik secara signifikan sehingga muncul beberapa gejala alam seperti mencairnya es di kutub, rusaknya ekosistem, naiknya ketinggian permukaan air laut dan perubahan iklim yang ekstrem, kondisi tersebut kemudian membawa dampak negatif juga bagi kehidupan.

 

3.      Dampak Emisi Karbon & Gas Rumah Kaca

     Pelepasan dan peningkatan konsentrasi emisi karbon atau pun GRK di atmosfer telah berdampak pada lingkungan, kesehatan manusia dan ekonomi. Berikut ini adalah sejumlah dampak yang disebabkan oleh emisi karbon dan GRK.

 

4.      Dampak lingkungan

Emisi karbon dan GRK memberi dampak pada kondisi lingkungan kehidupan. Secara keseluruhan, suhu tahunan rata-rata diperkirakan akan meningkat. Salju, es laut, dan cakupan gletser akan berkurang karena suhu yang lebih tinggi, yang mengakibatkan naiknya permukaan laut dan peningkatan banjir pesisir. Peningkatan suhu juga akan mencairkan lapisan es di Kutub Utara. Laju erosi pantai di masa depan kemungkinan besar akan meningkat di sebagian besar wilayah karena musim dingin yang lebih sejuk dan lapisan es yang lebih kecil. Peningkatan curah hujan diperkirakan akan digabungkan dengan kejadian hujan lebat yang lebih sering, yang mengakibatkan risiko banjir yang lebih tinggi.

Gelombang panas kemungkinan besar akan meningkat dalam frekuensi dan tingkat keparahannya, yang mengakibatkan risiko kebakaran hutan yang lebih tinggi. Banyak spesies satwa liar akan mengalami kesulitan beradaptasi dengan iklim yang lebih hangat dan kemungkinan besar akan mengalami stres yang lebih besar.

Kondisi lingkungan tersebut menyebabkan ekosistem alam menjadi tidak seimbang dan kemudian akan memberikan pengaruh pada hal-hal lain dalam kehidupan

 

5.      Dampak Kesehatan

Suhu yang lebih tinggi dan kejadian cuaca ekstrem yang lebih sering dapat meningkatkan risiko kematian dan penyakit. Diantaranya kematian akibat dehidrasi dan sengatan panas, serta cedera akibat perubahan cuaca lokal yang intens. Terdapat risiko yang lebih besar terhadap masalah pernapasan dan kardiovaskular dan jenis kanker tertentu pada kondisi tersebut. Selain itu, risiko penyakit yang ditularkan melalui air, makanan, vektor, dan hewan pengerat dapat meningkat.

 

6.      Dampak ekonomi

Pertanian, kehutanan, dan pariwisata merupakan sektor yang sangat terdampak akibat pola cuaca yang berubah. Dampak kesehatan manusia diperkirakan akan menambah tekanan ekonomi pada kesehatan dan sistem dukungan sosial. Kerusakan infrastruktur yang disebabkan oleh kejadian cuaca ekstrem, pencairan permafrost dan kenaikan permukaan laut diperkirakan akan meningkat, berdampak pada populasi lokal dan pengembangan sumber daya. Hal-hal tersebut kemudian membawa dampak pada kehidupan ekonomi masyarakat.

 

B.  Kerangka Pemikiran

Bagi sektor pertanian, dampak perubahan iklim yang begitu banyak merupakan tantangan yang cukup besar. Peran aktif berbagai pihak diperlukan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim melalui strategi mitigasi dan adaptasi. Pengkajian dampak perubahan iklim telah dilakukan antara lain :

a.       Sumber daya pertanian, seperti pola curah hujan dan musim (aspek klimatologis), sistem hidrologi dan sumber daya air (aspek hidrologis), serta keragaan dan penciutan luas lahan pertanian di sekitar pantai,

b.      Infrastruktur/sarana dan prasarana pertanian, terutama sistem irigasi dan waduk,

c.       Sistem produksi pertanian, terutama sistem usaha tani dan agribisnis, pola tanam, produktivitas, pergeseran jenis dan varietas dominan, produksi, serta

d.      Aspek sosial-ekonomi dan budaya. Berdasarkan kajian dampak tersebut telah dihasilkan berbagai teknologi mitigasi untuk mengurangi emisi GRK, perbaikan aktivitas/praktek dan teknologi pertanian, serta teknologi adaptasi dengan melakukan penyesuaian dalam kegiatan dan teknologi pertanian.

 

1.      Teknologi Mitigasi

Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Salah satu alternatif langkah yang dapat dilakukan untuk menjaga kelanjutan pertanian Indonesia adalah Mitigasi untuk mengurangi emisi GRK.

Adapun teknologi tersebut diantaranya adalah :

a.       Penggunaan varietas rendah emisi serta teknologi pengelolaan air dan lahan.

b.      Teknologi adaptasi bertujuan melakukan penyesuaian terhadap dampak dari perubahan iklim untuk mengurangi risiko kegagalan produksi pertanian.

c.       Teknologi adaptasi meliputi penyesuaian waktu tanam, penggunaan varietas unggul tahan kekeringan, rendaman, dan salinitas, serta pengembangan teknologi pengelolaan air.

 

2.      Teknologi Adaptasi

Adaptasi adalah cara bagaimana organisme mengatasi tekanan lingkungan sekitarnya untuk bertahan hidup. Organisme yang bisa beradaptasi terhadap lingkungannya mampu untuk memperoleh air, udara dan nutrisi. Selanjutnya organisme akan mampu mengatasi kondisi fisik lingkungan seperti temperatur dan cahaya.

Dari uraian tersebut diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : Perancangan teknologi mitigasi dan teknologi adaptasi dibutuhkan untuk mempertahankan keberlangsungan pertanian di Indonesia dalam menghadapi efek Gas Rumah Kaca.

 

 

METODOLOGI PENELITIAN

Paper ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan dan menjelaskan sebuah fenomena. Adapun teknik pengumpulan datanya menggunakan metode studi pustaka untuk mendapatkan data-data sekunder. Data sekunder dalam penulisan paper ini berupa bahan-bahan tertulis yang berasal dari penelitian terdahulu, jurnal, buku, tesis, disertasi, dan berbagai informasi digital yang ada di internet.

Data yang terkumpul tersebut kemudian di analisis menggunakan interpretasi peneliti dengan mengacu pada berbagai literatur atau referensi yang relevan dengan objek kajian dalam penulisan paper ini. Selanjutnya dilakukan penarikan hubungan dari semua hal yang telah dilakukan sehingga memunculkan sebuah kesimpulan.

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.    Teknologi Mitigasi

1.      Penggunaan varietas padi rendah emisi.

Padi sawah dikenal sebagai sumber utama emisi gas metana, yaitu antara 20-100 Tg CH4/tahun (IPCC 1992). Emisi gas metana ditentukan oleh perbedaan sifat fisiologi dan morfologi varietas padi. Kemampuan varietas padi mengemisi gas metana bergantung pada rongga aerenkhima, jumlah anakan, biomassa, pola perakaran, dan aktivitas metabolisme.

Pawitan et al. (2008) telah mengompilasi berbagai varietas padi dan tingkat emisinya dan merekomendasikan penggunaan beberapa varietas rendah emisi, antara lain Maros dengan emisi 74 kg CH4 /ha/musim, Way Rarem 91,60 kg CH4 /ha/musim, Limboto 99,20 kg CH4 /ha/musim, dan Ciherang dengan emisi 114,80 kg CH4 /ha/ musim.

Varietas padi yang dominan ditanam petani adalah IR64. Namun, saat ini petani mulai mengganti IR64 dengan varietas yang serupa, yaitu Ciherang. Selain lebih tahan terhadap hama dan penyakit, varietas Ciherang juga lebih rendah mengemisi gas metana. Dengan demikian, penanaman varietas Ciherang yang makin luas akan mengurangi emisi GRK dari lahan sawah.

 

2.      Penggunaan pupuk ZA sebagai sumber pupuk N.

     Sumber pupuk N seperti ZA dapat menurunkan emisi gas metana 6% dibandingkan dengan urea bila pupuk disebar di permukaan tanah, dan menurunkan emisi metana hingga 62% jika pupuk ZA dibenamkan ke dalam tanah (Lindau et al. 1993). Namun, cara ini tidak dapat dipraktekkan pada semua lokasi, dan sebaiknya diterapkan pada tanah kahat S dan atau pH tinggi. Emisi gas metana dengan menggunakan pupuk ZA mencapai 157 kg CH4 /ha/musim (Mulyadi et al. 2001), lebih rendah 12% dibandingkan bila menggunakan pupuk urea yang mengemisikan metana 179 kg CH4 / ha/musim (Setyanto et al. 1999).

 

3.       Aplikasi teknologi tanpa olah tanah.

     Pengolahan tanah secara kering dapat menekan emisi gas metana dari tanah dibandingkan dengan pengolahan tanah basah atau pelumpuran. Hal ini karena perombakan bahan organik berlangsung secara aerobik sehingga C terlepas dalam bentuk CO2 yang lebih rendah tingkat pemanasannya dibanding CH4. Olah tanah minimal atau tanpa olah tanah mampu menurunkan laju emisi gas metana sekitar 31,50-63,40% dibanding olah tanah sempurna. Olah tanah minimal dapat dilakukan pada tanah yang bertekstur remah dan sedikit gulma (Makarimet al. 1998)

 

B.     Teknologi irigasi berselang.

     Selain menghemat air, teknologi irigasi berselang (intermittent) dapat mengurangi emisi gas metana dari lahan sawah. Penghematan air irigasi dapat dilakukan dengan cara pengairan berselang (mengairi lahan dan mengeringkan lahan secara periodik dalam jangka waktu tertentu), dan sistem leb (mengairi lahan kemudian dibiarkan air mengering, lalu diairi lagi). Cara ini memengaruhi sifat fisiko-kimia tanah (pH dan Eh) yang lebih menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman karena menghilangkan zat-zat yang bersifat toksik bagi tanaman, seperti asam-asam organik dan H2 S, selain dapat menekan emisi gas metana hingga 88% (Sass et al. 1990). Setyanto dan Abubakar (2005) melaporkan, emisi gas metana pada varietas padi IR64 dengan irigasi terusmenerus dan berselang masing-masing sebesar 254 kg dan 136 kg CH4/ha, atau dapat menekan emisi sebesar 49%.

 

C.    Teknologi Adaptasi

1.      Penyesuaian waktu dan pola tanam.

Penyesuaian waktu dan pola tanam merupakan upaya yang sangat strategis guna mengurangi atau menghindari dampak perubahan iklim akibat pergeseran musim dan perubahan pola curah hujan. Kementerian Pertanian telah menerbitkan Atlas Peta Kalender Tanam Pulau Jawa skala 1:1.000.000 dan 1:250.000.

Peta tersebut disusun untuk menggambarkan potensi pola dan waktu tanam bagi tanaman pangan, terutama padi, berdasarkan potensi dan dinamika sumber daya iklim dan air (Las et al. 2007). Peta kalender tanam disusun berdasarkan kondisi pola tanam petani saat ini (eksisting), dengan tiga skenario kejadian iklim, yaitu tahun basah (TB), tahun normal (TN), dan tahun kering (TK).

Dalam penggunaannya, peta kalender tanam dilengkapi dengan prediksi iklim untuk mengetahui kejadian iklim yang akan datang, sehingga perencanaan tanam dapat disesuaikan dengan kondisi sumber daya iklim dan air.

 

2.      Penggunaan varietas unggul tahan kekeringan, rendaman, dan salinitas.

Dalam mengantisipasi iklim kering, Kementerian Pertanian telah melepas beberapa varietas/galur tanaman yang toleran terhadap iklim kering, yaitu padi sawah varietas Dodokan dan Silugonggo, dan galur harapan S3382 dan BP23; kedelai varietas Argomulyo dan Burangrang serta galur harapan GH SHR/WIL-60 dan GH 9837/W-D-5-211; kacang tanah varietas Singa dan Jerapah; kacang hijau varietas Kutilang dan galur harapan GH 157D-KP-1; serta jagung varietas Bima 3 Bantimurung, Lamuru, Sukmaraga, dan Anoman. Salah satu dampak dari naiknya permukaan air laut adalah meningkatnya salinitas, terutama di daerah pesisir pantai. Salinitas pada padi sangat erat kaitannya dengan keracunan logam berat, terutama Fe dan Al.

Sejak tahun 2000 telah dilepas beberapa varietas padi yang tahan terhadap salinitas, yaitu varietas Way Apo Buru, Margasari, dan Lambur, dan diperoleh beberapa galur harapan GH TS-1 dan GH TS-2. Lahan rawa memiliki potensi dan prospek yang besar untuk pengembangan pertanian, khususnya dalam mendukung ketahanan pangan nasional.

Lahan tersebut sepanjang tahun atau selama waktu tertentu selalu jenuh air (saturated) atau tergenang (waterlogged) air dangkal. Dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan lahan tersebut, telah diperoleh beberapa galur harapan padi yang toleran terhadap genangan, seperti GH TR 1, IR69502-6-SRN-3-UBN-1-B-1-3, IR70181- 5-PMI-1-2-B-1, IR70213-9-CPA-12-UBN-2- 1-3-1, dan IR70215-2-CPA-2-1-B-1-2.

 

3.      Teknologi panen hujan.

Teknologi ini merupakan salah satu alternatif teknologi pengelolaan air dengan prinsip menampung kelebihan air pada musim hujan dan memanfaatkannya pada musim kemarau untuk mengairi tanaman. Teknologi panen hujan yang sudah banyak diterapkan adalah embung dan dam parit.

4.      Teknologi irigasi.

Teknologi irigasi yang sudah dikembangkan untuk mengatasi cekaman air pada tanaman adalah sumur renteng, irigasi kapiler, irigasi tetes, irigasi macak-macak, irigasi bergilir, dan irigasi berselang. Penerapan teknik irigasi tersebut bertujuan memenuhi kebutuhan air tanaman pada kondisi ketersediaan air yang sangat terbatas dan meningkatkan nilai daya guna air.

 

 

SIMPULAN

 

Teknologi Mitigasi dapat dilakukan dengan Penggunaan varietas padi rendah emisi, Penggunaan pupuk ZA sebagai sumber pupuk N dan Aplikasi teknologi tanpa olah tanah. Sementara Teknologi irigasi berselang (intermittent) dapat mengurangi emisi gas metana dari lahan sawah. Penghematan air irigasi dapat dilakukan dengan cara pengairan berselang (mengairi lahan dan mengeringkan lahan secara periodik dalam jangka waktu tertentu), dan sistem leb (mengairi lahan kemudian dibiarkan air mengering, lalu diairi lagi). Kemudian Teknologi Adaptasi adalah dengan Penyesuaian waktu dan pola tanam, Penggunaan varietas unggul tahan kekeringan, rendaman, dan salinitas, Teknologi panen hujan dan Teknologi irigasi. Hal-hal tersebut merupakan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga produktivitas pertanian dalam menghadapi perubahan iklim yang terjadi.

 

 

Ucapan Terimakasih

 

Terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Jurnal ini.

DAFTAR PUSTAKA

 

Aldrian, E. and S.D. Djamil. 2006. Long term rainfall trend of the Brantas catchment area, East Java. Indones. J. Geogr.

Baettig, M.B., M. Wild, and D.M. Imboden. 2007. A climate change index: where climate change may be most prominent in the 21st century. Geophys. Res. Lett. 34: 6.

Boer, R. 2007. Fenomena perubahan iklim: Dampak dan strategi menghadapinya. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian, Bogor, 7-8 November 2007. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.

Boer, R. and A. Buono. 2008. Current and future climate variability of East Java and its implication on agriculture and livestock. Technical Report Submitted to UNDP.

Cline, R. 2007. Global Warming and Agriculture. Cener of Global Development, Peterson Institute for International Economic, Washington, DC.

Dariah, Ai. 2013. Sistem Pertanian Efisien Karbon sebagai Bentuk Adaptasi dan Mitigasi Sektor Pertanian terhadap Perubahan Iklim. Litbang Pertanian. Jakarta.

Efendi, Elfin. 2016. Implementasi Sistem Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Produksi Pertanian. Jurnal Warta. Medan.

Handoko, I., Y. Sugiarto, dan Y. Syaukat. 2008. Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis: Telaah kebijakan independen dalam bidang perdagangan dan pembangunan. SEAMEO BIOTROP untuk Kemitraan.

IPCC. 1992. Climate Change 1992: The Supplementary Report to the Intergoverenmental Panel on Climate Change (IPCC) Scientific Assessment. In J.T. Houghton, B.A. Calendar, and S.K. Varney (Eds.). Cambridge University Press, Cambridge, 200 pp

Las, I. 2007. Menyiasati Fenomena Anomali Iklim bagi Pemantapan Produksi Padi Nasional pada Era Revolusi Hijau Lestari. Jurnal Biotek-LIPI. Naskah Orasi Pengukuhan Profesor Riset Badan Litbang Pertanian, Bogor, 6 Agustus 2004.

Najamudin, Mudatsir. 2014. Strategi Mitigasi Emisi Gas Metan pada Budidaya Padi Sawah. Jurnal Agribisnis. Jakarta.

Ogawa M. 1994. Symbiosis of People and Nature in Tropics. Farming Japan 28(5).

Prayoga, Kadhung. 2018. Dampak Penetrasi Teknologi Informasi dalam Transformasi Sistem Penyuluhan Pertanian di Indonesia. JSEP. Jember.