IPAN ZULFIKRI
Universitas Siliwangi
Korespondensi : ipanzulfikri@gmail.com
ABSTRAK
Perubahan iklim terjadi sebagai
salahsatu dampak dari peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir, baik yang
berasal dari ekosistem alami maupun ekosistem buatan termasuk sektor pertanian
yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Gas rumah kaca yang dominan di
atmosfir adalah karbon dioksida (CO2), metan (CH4) dan nitrous oksida (N2O).
Paper ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk
menggambarkan dan menjelaskan sebuah fenomena. Adapun teknik pengumpulan datanya menggunakan metode studi pustaka untuk mendapatkan data-data
sekunder. Teknologi Mitigasi dapat dilakukan dengan Penggunaan varietas
padi rendah emisi, Penggunaan pupuk ZA sebagai sumber pupuk N dan Aplikasi
teknologi tanpa olah tanah. Sementara Teknologi irigasi berselang
(intermittent) dapat mengurangi emisi gas metana dari lahan sawah. Penghematan
air irigasi dapat dilakukan dengan cara pengairan berselang (mengairi lahan dan
mengeringkan lahan secara periodik dalam jangka waktu tertentu), dan sistem leb
(mengairi lahan kemudian dibiarkan air mengering, lalu diairi lagi). Kemudian Teknologi Adaptasi adalah
dengan Penyesuaian waktu dan pola
tanam, Penggunaan varietas unggul tahan
kekeringan, rendaman, dan salinitas, Teknologi panen hujan dan Teknologi irigasi.
Kata kunci: Iklim, Mitigasi, Adaptasi
ABSTRACT
Climate change occurs as one of the
impacts of increasing greenhouse gas (GHG) emissions in the atmosphere, both
from natural and artificial ecosystems, including the agricultural sector,
which results in global warming. The dominant greenhouse gases in the
atmosphere are carbon dioxide (CO2), methane (CH4) and nitrous oxide (N2O).
This paper uses a descriptive qualitative approach which aims to describe and
explain a phenomenon. The data collection technique uses the literature study
method to obtain secondary data. Mitigation technology can be done by using
low-emission rice varieties, using ZA fertilizer as a source of N fertilizer
and applying technology without tillage. Meanwhile, intermittent irrigation
technology can reduce methane gas emissions from paddy fields. Irrigation water
savings can be done by means of intermittent irrigation (irrigating the land
and drying the land periodically within a certain period of time), and the leb
system (irrigating the land then allowing the water to dry, then irrigating it
again). Then the Adaptation Technology is by adjusting the time and cropping
pattern, the use of high yielding varieties that are resistant to drought,
soaking, and salinity, rain harvesting technology and irrigation technology.
Keywords : Climate, Mitigation, Adaptation
PENDAHULUAN
Indonesia
berada di daerah tropis sehingga pertanian di Indonesia merupakan pertanian
tropika. Keberadaan di daerah tropis yang dilewati oleh garis khatulistiwa ini
memberi pengaruh pada sektor pertanian. Di samping pengaruh khatulistiwa, ada
dua faktor alam lain yang ikut memberi corak pertanian Indonesia. Pertama,
bentuknya sebagai kepulauan dan kedua, topografinya yang bergunung-gunung.
Indonesia juga berada di antara dua lautan besar yaitu Lautan Indonesia dan
Lautan Pasifik, serta dua benua besar yaitu Australia dan Asia, hal ini ikut
mempengaruhi iklim Indonesia terutama dalam perubahan arah angin dari daerah
tekanan tinggi ke daerah tekanan rendah. Bentuk tanah yang bergununggunung
memungkinkan adanya variasi suhu udara yang berbeda-beda pada suatu daerah
tertentu.
Perubahan
iklim terjadi sebagai salahsatu dampak dari peningkatan emisi gas rumah kaca
(GRK) di atmosfir, baik yang berasal dari ekosistem alami maupun ekosistem
buatan termasuk sektor pertanian yang mengakibatkan terjadinya pemanasan
global. Gas rumah kaca yang dominan di atmosfir adalah karbon dioksida (CO2),
metan (CH4) dan nitrous oksida (N2O). Potensi kekuatan dalam pemanasan global
CH4 21 kali dan N2O 290 kali lebih besar dari CO2.
Sektor pertanian
merupakan sektor yang paling banyak terkena dampak pemanasan global. Perubahan
iklim yang menjadikan musim menjadi tak menentu membuat petani kesulitan dalam
menentukan waktu tanam, selain itu terjadinya banjir dan longsor di berbagai
daerah pada musim hujan dan kekeringan berkepanjangan pada musim kemarau
menyebabkan petani sering mengalami gagal panen yang kemudian berdampak pada
ketahanan pangan nasional. Ironisnya, sebagai sektor yang paling banyak terkena
dampak pemanasan global, pertanian juga merupakan penyumbang gas rumah kaca
(GRK) global. Secara umum, sektor pertanian menyumbang emisi GRK anthropogenik
dalam pemanasan global sebesar 20% dimana 90% dari jumlah tersebut berasal dari
pertanian daerah tropik. Indonesia sendiri sebagai negara berkembang di daerah
tropik sudah menjadi salah satu pemasok GRK terbesar didunia setelah Amerika
dan Cina.
Besarnya
kehilangan gas CO2 dari sektor pertanian disebabkan oleh praktik budidaya
pertanian yang tidak berkelanjutan. Pembakaran lahan dan pembajakan tanah
merupakan contoh budidaya pertanian yang memacu emisi GRK. Pembakaran lahan
bukan hanya menghasilkan GRK, tetapi juga merusak tanah.
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA
PEMIKIRAN
A.
Kajian Teori
1.
Perubahan Iklim
Iklim
adalah rata-rata cuaca dimana cuaca merupakan keadaan atmosfer pada suatu saat
di waktu tertentu. Iklim didefinisikan sebagai ukuran rata-rata dan
variabilitas kuantitas yang relevan dari variabel tertentu seperti temperatur,
curah hujan atau angin pada periode waktu tertentu, yang merentang dari bulanan
hingga tahunan atau jutaan tahun. Iklim berubah secara terus menerus karena
interaksi antara komponen-komponennya dan faktor eksternal seperti erupsi
vulkanik, variasi sinar matahari, dan faktor-faktor disebabkan oleh kegiatan
manusia seperti misalnya perubahan pengunaan lahan dan penggunaan bahan bakar
fosil.
2.
Emisi Gas Rumah Kaca
Secara
alamiah, gas rumah kaca dihasilkan dari kegiatan manusia sehari-hari, namun
sejak tahun 1950-an emisi gas CO2 meningkat secara drastis yang disebabkan oleh
semakin majunya industri yang berbanding lurus dengan konsumsi energi. Kegiatan
manusia sehari-hari yang merupakan penghasil gas rumah kaca di antaranya adalah
penggunaan energi listrik, aktivitas menggunakan kendaraan bermotor, membakar
sampah, dan sebagainya. Selain itu, gas metana juga terbentuk dari limbah
aktivitas manusia seperti sisa nasi dan sayuran yang berasal dari pertanian
menggunakan pestisida dan konsumsi daging dari hewan di peternakan dimana
kotoran hewan tersebut juga merupakan penghasil gas metana.
Efek
rumah kaca sejatinya dibutuhkan untuk menjaga suhu bumi agar perbedaan suhu
antara siang dan malam tidak terlalu besar. Namun efek rumah kaca yang
berlebihan akan menyebabkan pemanasan global dimana suhu di bumi akan naik
secara signifikan sehingga muncul beberapa gejala alam seperti mencairnya es di
kutub, rusaknya ekosistem, naiknya ketinggian permukaan air laut dan perubahan
iklim yang ekstrem, kondisi tersebut kemudian membawa dampak negatif juga bagi
kehidupan.
3.
Dampak Emisi Karbon
& Gas Rumah Kaca
Pelepasan dan peningkatan konsentrasi
emisi karbon atau pun GRK di atmosfer telah berdampak pada lingkungan,
kesehatan manusia dan ekonomi. Berikut ini adalah sejumlah dampak yang
disebabkan oleh emisi karbon dan GRK.
4.
Dampak lingkungan
Emisi
karbon dan GRK memberi dampak pada kondisi lingkungan kehidupan. Secara
keseluruhan, suhu tahunan rata-rata diperkirakan akan meningkat. Salju, es
laut, dan cakupan gletser akan berkurang karena suhu yang lebih tinggi, yang
mengakibatkan naiknya permukaan laut dan peningkatan banjir pesisir.
Peningkatan suhu juga akan mencairkan lapisan es di Kutub Utara. Laju erosi
pantai di masa depan kemungkinan besar akan meningkat di sebagian besar wilayah
karena musim dingin yang lebih sejuk dan lapisan es yang lebih kecil.
Peningkatan curah hujan diperkirakan akan digabungkan dengan kejadian hujan
lebat yang lebih sering, yang mengakibatkan risiko banjir yang lebih tinggi.
Gelombang
panas kemungkinan besar akan meningkat dalam frekuensi dan tingkat
keparahannya, yang mengakibatkan risiko kebakaran hutan yang lebih tinggi.
Banyak spesies satwa liar akan mengalami kesulitan beradaptasi dengan iklim
yang lebih hangat dan kemungkinan besar akan mengalami stres yang lebih besar.
Kondisi
lingkungan tersebut menyebabkan ekosistem alam menjadi tidak seimbang dan
kemudian akan memberikan pengaruh pada hal-hal lain dalam kehidupan
5.
Dampak Kesehatan
Suhu yang
lebih tinggi dan kejadian cuaca ekstrem yang lebih sering dapat meningkatkan
risiko kematian dan penyakit. Diantaranya kematian akibat dehidrasi dan
sengatan panas, serta cedera akibat perubahan cuaca lokal yang intens. Terdapat
risiko yang lebih besar terhadap masalah pernapasan dan kardiovaskular dan
jenis kanker tertentu pada kondisi tersebut. Selain itu, risiko penyakit yang
ditularkan melalui air, makanan, vektor, dan hewan pengerat dapat meningkat.
6.
Dampak ekonomi
Pertanian,
kehutanan, dan pariwisata merupakan sektor yang sangat terdampak akibat pola
cuaca yang berubah. Dampak kesehatan manusia diperkirakan akan menambah tekanan
ekonomi pada kesehatan dan sistem dukungan sosial. Kerusakan infrastruktur yang
disebabkan oleh kejadian cuaca ekstrem, pencairan permafrost dan kenaikan
permukaan laut diperkirakan akan meningkat, berdampak pada populasi lokal dan
pengembangan sumber daya. Hal-hal tersebut kemudian membawa dampak pada
kehidupan ekonomi masyarakat.
B. Kerangka Pemikiran
Bagi
sektor pertanian, dampak perubahan iklim yang begitu banyak merupakan tantangan
yang cukup besar. Peran aktif berbagai pihak diperlukan untuk mengantisipasi
dampak perubahan iklim melalui strategi mitigasi dan adaptasi. Pengkajian
dampak perubahan iklim telah dilakukan antara lain :
a.
Sumber
daya pertanian, seperti pola curah hujan dan musim (aspek klimatologis), sistem
hidrologi dan sumber daya air (aspek hidrologis), serta keragaan dan penciutan
luas lahan pertanian di sekitar pantai,
b.
Infrastruktur/sarana
dan prasarana pertanian, terutama sistem irigasi dan waduk,
c.
Sistem
produksi pertanian, terutama sistem usaha tani dan agribisnis, pola tanam,
produktivitas, pergeseran jenis dan varietas dominan, produksi, serta
d.
Aspek
sosial-ekonomi dan budaya. Berdasarkan kajian dampak tersebut telah dihasilkan
berbagai teknologi mitigasi untuk mengurangi emisi GRK, perbaikan
aktivitas/praktek dan teknologi pertanian, serta teknologi adaptasi dengan
melakukan penyesuaian dalam kegiatan dan teknologi pertanian.
1. Teknologi Mitigasi
Mitigasi
adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana. Salah satu alternatif langkah yang dapat dilakukan untuk
menjaga kelanjutan pertanian Indonesia adalah Mitigasi untuk mengurangi emisi
GRK.
Adapun
teknologi tersebut diantaranya adalah :
a.
Penggunaan
varietas rendah emisi serta teknologi pengelolaan air dan lahan.
b.
Teknologi
adaptasi bertujuan melakukan penyesuaian terhadap dampak dari perubahan iklim
untuk mengurangi risiko kegagalan produksi pertanian.
c.
Teknologi
adaptasi meliputi penyesuaian waktu tanam, penggunaan varietas unggul tahan
kekeringan, rendaman, dan salinitas, serta pengembangan teknologi pengelolaan
air.
2. Teknologi Adaptasi
Adaptasi
adalah cara bagaimana organisme mengatasi tekanan lingkungan sekitarnya untuk
bertahan hidup. Organisme yang bisa beradaptasi terhadap lingkungannya mampu
untuk memperoleh air, udara dan nutrisi. Selanjutnya organisme akan mampu
mengatasi kondisi fisik lingkungan seperti temperatur dan cahaya.
Dari
uraian tersebut diatas, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut : Perancangan
teknologi mitigasi dan teknologi adaptasi dibutuhkan untuk mempertahankan
keberlangsungan pertanian di Indonesia dalam menghadapi efek Gas Rumah Kaca.
METODOLOGI PENELITIAN
Paper ini
menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan
dan menjelaskan sebuah fenomena. Adapun teknik pengumpulan datanya menggunakan
metode studi pustaka untuk mendapatkan data-data sekunder. Data sekunder dalam
penulisan paper ini berupa bahan-bahan tertulis yang berasal dari penelitian
terdahulu, jurnal, buku, tesis, disertasi, dan berbagai informasi digital yang
ada di internet.
Data yang
terkumpul tersebut kemudian di analisis menggunakan interpretasi peneliti
dengan mengacu pada berbagai literatur atau referensi yang relevan dengan objek
kajian dalam penulisan paper ini. Selanjutnya dilakukan penarikan hubungan dari
semua hal yang telah dilakukan sehingga memunculkan sebuah kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Teknologi Mitigasi
1.
Penggunaan
varietas padi rendah emisi.
Padi
sawah dikenal sebagai sumber utama emisi gas metana, yaitu antara 20-100 Tg
CH4/tahun (IPCC 1992). Emisi gas metana ditentukan oleh perbedaan sifat
fisiologi dan morfologi varietas padi. Kemampuan varietas padi mengemisi gas
metana bergantung pada rongga aerenkhima, jumlah anakan, biomassa, pola
perakaran, dan aktivitas metabolisme.
Pawitan
et al. (2008) telah mengompilasi berbagai varietas padi dan tingkat emisinya
dan merekomendasikan penggunaan beberapa varietas rendah emisi, antara lain
Maros dengan emisi 74 kg CH4 /ha/musim, Way Rarem 91,60 kg CH4 /ha/musim,
Limboto 99,20 kg CH4 /ha/musim, dan Ciherang dengan emisi 114,80 kg CH4 /ha/
musim.
Varietas
padi yang dominan ditanam petani adalah IR64. Namun, saat ini petani mulai
mengganti IR64 dengan varietas yang serupa, yaitu Ciherang. Selain lebih tahan
terhadap hama dan penyakit, varietas Ciherang juga lebih rendah mengemisi gas
metana. Dengan demikian, penanaman varietas Ciherang yang makin luas akan
mengurangi emisi GRK dari lahan sawah.
2.
Penggunaan
pupuk ZA sebagai sumber pupuk N.
Sumber pupuk N seperti ZA dapat menurunkan
emisi gas metana 6% dibandingkan dengan urea bila pupuk disebar di permukaan
tanah, dan menurunkan emisi metana hingga 62% jika pupuk ZA dibenamkan ke dalam
tanah (Lindau et al. 1993). Namun, cara ini tidak dapat dipraktekkan pada semua
lokasi, dan sebaiknya diterapkan pada tanah kahat S dan atau pH tinggi. Emisi
gas metana dengan menggunakan pupuk ZA mencapai 157 kg CH4 /ha/musim (Mulyadi
et al. 2001), lebih rendah 12% dibandingkan bila menggunakan pupuk urea yang
mengemisikan metana 179 kg CH4 / ha/musim (Setyanto et al. 1999).
3.
Aplikasi teknologi tanpa olah tanah.
Pengolahan tanah secara kering dapat
menekan emisi gas metana dari tanah dibandingkan dengan pengolahan tanah basah
atau pelumpuran. Hal ini karena perombakan bahan organik berlangsung secara
aerobik sehingga C terlepas dalam bentuk CO2 yang lebih rendah tingkat
pemanasannya dibanding CH4. Olah tanah minimal atau tanpa olah tanah mampu
menurunkan laju emisi gas metana sekitar 31,50-63,40% dibanding olah tanah
sempurna. Olah tanah minimal dapat dilakukan pada tanah yang bertekstur remah
dan sedikit gulma (Makarimet al. 1998)
B.
Teknologi irigasi
berselang.
Selain menghemat air, teknologi irigasi
berselang (intermittent) dapat mengurangi emisi gas metana dari lahan sawah.
Penghematan air irigasi dapat dilakukan dengan cara pengairan berselang
(mengairi lahan dan mengeringkan lahan secara periodik dalam jangka waktu
tertentu), dan sistem leb (mengairi lahan kemudian dibiarkan air mengering,
lalu diairi lagi). Cara ini memengaruhi sifat fisiko-kimia tanah (pH dan Eh)
yang lebih menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman karena menghilangkan zat-zat
yang bersifat toksik bagi tanaman, seperti asam-asam organik dan H2 S, selain
dapat menekan emisi gas metana hingga 88% (Sass et al. 1990). Setyanto dan
Abubakar (2005) melaporkan, emisi gas metana pada varietas padi IR64 dengan
irigasi terusmenerus dan berselang masing-masing sebesar 254 kg dan 136 kg
CH4/ha, atau dapat menekan emisi sebesar 49%.
C.
Teknologi Adaptasi
1.
Penyesuaian waktu dan
pola tanam.
Penyesuaian
waktu dan pola tanam merupakan upaya yang sangat strategis guna mengurangi atau
menghindari dampak perubahan iklim akibat pergeseran musim dan perubahan pola
curah hujan. Kementerian Pertanian telah menerbitkan Atlas Peta Kalender Tanam
Pulau Jawa skala 1:1.000.000 dan 1:250.000.
Peta
tersebut disusun untuk menggambarkan potensi pola dan waktu tanam bagi tanaman
pangan, terutama padi, berdasarkan potensi dan dinamika sumber daya iklim dan
air (Las et al. 2007). Peta kalender tanam disusun berdasarkan kondisi pola
tanam petani saat ini (eksisting), dengan tiga skenario kejadian iklim, yaitu
tahun basah (TB), tahun normal (TN), dan tahun kering (TK).
Dalam
penggunaannya, peta kalender tanam dilengkapi dengan prediksi iklim untuk
mengetahui kejadian iklim yang akan datang, sehingga perencanaan tanam dapat
disesuaikan dengan kondisi sumber daya iklim dan air.
2.
Penggunaan varietas
unggul tahan kekeringan, rendaman, dan salinitas.
Dalam
mengantisipasi iklim kering, Kementerian Pertanian telah melepas beberapa
varietas/galur tanaman yang toleran terhadap iklim kering, yaitu padi sawah
varietas Dodokan dan Silugonggo, dan galur harapan S3382 dan BP23; kedelai
varietas Argomulyo dan Burangrang serta galur harapan GH SHR/WIL-60 dan GH
9837/W-D-5-211; kacang tanah varietas Singa dan Jerapah; kacang hijau varietas
Kutilang dan galur harapan GH 157D-KP-1; serta jagung varietas Bima 3
Bantimurung, Lamuru, Sukmaraga, dan Anoman. Salah satu dampak dari naiknya permukaan
air laut adalah meningkatnya salinitas, terutama di daerah pesisir pantai.
Salinitas pada padi sangat erat kaitannya dengan keracunan logam berat,
terutama Fe dan Al.
Sejak
tahun 2000 telah dilepas beberapa varietas padi yang tahan terhadap salinitas,
yaitu varietas Way Apo Buru, Margasari, dan Lambur, dan diperoleh beberapa
galur harapan GH TS-1 dan GH TS-2. Lahan rawa memiliki potensi dan prospek yang
besar untuk pengembangan pertanian, khususnya dalam mendukung ketahanan pangan
nasional.
Lahan
tersebut sepanjang tahun atau selama waktu tertentu selalu jenuh air
(saturated) atau tergenang (waterlogged) air dangkal. Dalam upaya
mengoptimalkan pemanfaatan lahan tersebut, telah diperoleh beberapa galur
harapan padi yang toleran terhadap genangan, seperti GH TR 1,
IR69502-6-SRN-3-UBN-1-B-1-3, IR70181- 5-PMI-1-2-B-1, IR70213-9-CPA-12-UBN-2-
1-3-1, dan IR70215-2-CPA-2-1-B-1-2.
3.
Teknologi panen hujan.
Teknologi
ini merupakan salah satu alternatif teknologi pengelolaan air dengan prinsip
menampung kelebihan air pada musim hujan dan memanfaatkannya pada musim kemarau
untuk mengairi tanaman. Teknologi panen hujan yang sudah banyak diterapkan
adalah embung dan dam parit.
4.
Teknologi irigasi.
Teknologi
irigasi yang sudah dikembangkan untuk mengatasi cekaman air pada tanaman adalah
sumur renteng, irigasi kapiler, irigasi tetes, irigasi macak-macak, irigasi
bergilir, dan irigasi berselang. Penerapan teknik irigasi tersebut bertujuan
memenuhi kebutuhan air tanaman pada kondisi ketersediaan air yang sangat terbatas
dan meningkatkan nilai daya guna air.
SIMPULAN
Teknologi
Mitigasi dapat dilakukan dengan Penggunaan varietas padi rendah emisi,
Penggunaan pupuk ZA sebagai sumber pupuk N dan Aplikasi teknologi tanpa olah
tanah. Sementara Teknologi irigasi berselang (intermittent) dapat mengurangi
emisi gas metana dari lahan sawah. Penghematan air irigasi dapat dilakukan
dengan cara pengairan berselang (mengairi lahan dan mengeringkan lahan secara
periodik dalam jangka waktu tertentu), dan sistem leb (mengairi lahan kemudian
dibiarkan air mengering, lalu diairi lagi). Kemudian Teknologi Adaptasi adalah
dengan Penyesuaian waktu dan pola tanam, Penggunaan varietas unggul tahan kekeringan,
rendaman, dan salinitas, Teknologi panen hujan dan Teknologi irigasi. Hal-hal
tersebut merupakan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga
produktivitas pertanian dalam menghadapi perubahan iklim yang terjadi.
Ucapan
Terimakasih
Terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan Jurnal ini.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian, E. and S.D. Djamil. 2006.
Long term rainfall trend of the Brantas catchment area, East Java. Indones. J.
Geogr.
Baettig, M.B., M. Wild, and D.M.
Imboden. 2007. A climate change index: where climate change may be most
prominent in the 21st century. Geophys. Res. Lett. 34: 6.
Boer, R. 2007. Fenomena perubahan
iklim: Dampak dan strategi menghadapinya. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya
Lahan dan Lingkungan Pertanian, Bogor, 7-8 November 2007. Balai Besar Litbang
Sumberdaya Lahan Pertanian.
Boer, R. and A. Buono. 2008.
Current and future climate variability of East Java and its implication on
agriculture and livestock. Technical Report Submitted to UNDP.
Cline, R. 2007. Global Warming and
Agriculture. Cener of Global Development, Peterson Institute for International
Economic, Washington, DC.
Dariah, Ai. 2013. Sistem Pertanian
Efisien Karbon sebagai Bentuk Adaptasi dan Mitigasi Sektor Pertanian terhadap
Perubahan Iklim. Litbang Pertanian. Jakarta.
Efendi, Elfin. 2016. Implementasi
Sistem Pertanian Berkelanjutan dalam Mendukung Produksi Pertanian. Jurnal
Warta. Medan.
Handoko, I., Y. Sugiarto, dan Y.
Syaukat. 2008. Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis:
Telaah kebijakan independen dalam bidang perdagangan dan pembangunan. SEAMEO
BIOTROP untuk Kemitraan.
IPCC. 1992. Climate Change 1992:
The Supplementary Report to the Intergoverenmental Panel on Climate Change
(IPCC) Scientific Assessment. In J.T. Houghton, B.A. Calendar, and S.K. Varney
(Eds.). Cambridge University Press, Cambridge, 200 pp
Las, I. 2007. Menyiasati Fenomena
Anomali Iklim bagi Pemantapan Produksi Padi Nasional pada Era Revolusi Hijau
Lestari. Jurnal Biotek-LIPI. Naskah Orasi Pengukuhan Profesor Riset Badan
Litbang Pertanian, Bogor, 6 Agustus 2004.
Najamudin, Mudatsir. 2014. Strategi
Mitigasi Emisi Gas Metan pada Budidaya Padi Sawah. Jurnal Agribisnis. Jakarta.
Ogawa M. 1994. Symbiosis of People
and Nature in Tropics. Farming Japan 28(5).
Prayoga, Kadhung. 2018. Dampak
Penetrasi Teknologi Informasi dalam Transformasi Sistem Penyuluhan Pertanian di
Indonesia. JSEP. Jember.