Musuh Terbesar Semua Agama

 Oleh Reza A.A Wattimena

Sampai ke pelosok desa, agama telah menjadi bagian dari keseharian orang Indonesia. Agamanya pun beragam. Namun, hampir tak ada tempat yang bebas dari agama di Indonesia. Inilah keadaan kita di awal abad 21 ini.

Salah satu sebabnya adalah karena gagalnya pemerintah memberi rasa aman pada warganya. Sebaliknya, pemerintah justru menjadi penindas terhadap warganya sendiri. Para pelayan rakyat justru mencuri uang rakyat, guna memperkaya diri. Para penegak hukum justru mendiamkan, dan bahkan kerap menjadi pelaku pelanggaran hukum itu sendiri.

Rakyat butuh rasa aman. Ketika negara gagal, maka mereka lari ke agama. Inilah insting alami manusia. Dunia sekarang boleh kacau. Namun, setelah mati, begitu kata banyak agama, surga yang maha bahagia (yang tak pernah terbukti ada) sudah menanti.

Namun, masalah juga kerap muncul, karena agama. Agama memecah belah rakyat. Prasangka, ketakutan, kebencian dan kemarahan mewarnai hubungan antar agama, bahkan di dalam agama yang sama itu sendiri. Kekerasan atas nama agama juga terus berlangsung, tanpa tanggapan yang tepat.

Bagaimana supaya agama bisa sejalan dengan cita-cita perdamaian bersama? Bagaimana supaya agama tidak membeku menjadi tradisi yang kaku, sehingga merusak kedamaian hidup bersama? Inilah kiranya yang menjadi salah satu tantangan terbesar kita di Indonesia. Untuk itu, kita perlu memahami, apa musuh terbesar yang ada di dalam rahim setiap agama.

Kebekuan Tradisi

Musuh terbesar agama tidak datang dari luar. Beragam agama bisa hidup bersama secara damai, seperti sudah ribuan tahun terjadi di banyak tempat. Musuh terbesar agama adalah kebodohan umatnya sendiri. Mereka menyembah tradisi secara buta, dan melihat agama sebagai Tuhan.

Ada lima ciri yang penting diperhatikan. Pertama, umat agama yang bodoh takut pada perubahan jaman. Mereka ingin kembali ke masa lalu yang dianggap penuh kejayaan. Cara berpikir mereka terbelakang, dan suka menindas, terutama perempuan dan anak-anak yang dianggap tak berdaya.

Dua, karena takut pada perubahan, umat agama yang bodoh gagal menyesuaikan dengan kemajuan jaman. Mereka menjadi miskin dan bodoh di tengah kemajuan teknologi. Mereka hanya menjadi pengguna pasif yang terus dibohongi kelompok-kelompok yang lebih maju. Akhirnya, karena putus asa, umat agama yang bodoh lebih memilih merindukan surga setelah mati yang tak pernah ada, daripada berusaha dengan sungguh di hidup disini dan sekarang ini.

Tiga, karena kebodohannya, umat agama tersebut takut pada perbedaan. Mereka menyerang umat-umat agama lainnya. Mereka membuat masalah terus menerus dengan umat agama lainnya. Misalnya, mereka beribadah dengan merusak ketenangan hidup bersama, persis karena kebodohannya.

Empat, umat yang bodoh tak punya empati. Mereka menjadi sombong, persis karena kekosongan otak dan batinnya. Mereka tak peduli pada urusan bersama, apalagi pada kepentingan kelompok lain. Dari cara beribadah sampai dengan pola perilaku keseharian, mereka merusak kedamaian hidup bersama.

Lima, semua kemajuan pun dihalangi atas nama kepatuhan buta pada ajaran agama. Kebodohan dan kemiskinan dipelihara. Umat agama yang bodoh diam di hadapan ketidakadilan sosial yang terjadi. Sebaliknya, para pemuka agama yang bodoh justru ikut kaya dari penindasan yang terjadi setiap harinya.

Inilah ciri dari agama yang merusak. Ia membusuk dari dalam, karena kebodohan umatnya sendiri. Ajaran-ajaran lama dipatuhi secara buta, dan membuat otak serta nurani menjadi beku. Agama tersebut akan hancur dengan sendirinya, dan membawa umatnya hancur bersamanya.

Mengapa Agama Membeku dalam Kebodohan?

Dua alasan muncul. Pertama, kebodohan lahir, karena kemalasan belajar. Orang malas membaca buku-buku baru secara kritis. Umat yang bodoh hanya percaya buta pada satu buku yang disembah secara buta. Semua perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diabaikan, bahkan dibenci olehnya.

Dua, karena bodoh, maka umat agama tersebut dimanfaatkan oleh kekuasaan politik dan ekonomi busuk. Pada masa kampanye politik, isu agama digoreng, dan umat agama tersebut terprovokasi. Keadaan menjadi penuh kekacauan dan ketegangan. Umat yang bodoh kerap juga dimintai uang untuk tujuan-tujuan yang tak jelas. Mereka menjadi sapi perah politik dan ekonomi.

Sebagai negara yang dipenuhi agama, kita di Indonesia harus menjadi bangsa cerdas dan kritis. Kita harus terus belajar untuk bisa menanggapi perubahan jaman dengan tepat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus diikuti secara kritis dan cermat. Ini semua sangatlah perlu dilakukan, supaya kita tidak menjadi bangsa bodoh yang terjebak pada kebekuan tradisi, dan saling menyakiti satu sama lain di dalam negeri sendiri.

Jika umat agama sudah cerdas dan kritis, maka ia bisa bergerak sebagai pembebas dari penindasan. Agama bisa menjadi kendaraan untuk mewujudkan keadilan sosial. Agama tidak terpaku pada hidup setelah mati, yang penuh ketidakpastian, tetapi bergerak bersama untuk mewujudkan dunia yang adil serta makmur disini dan saat ini. Ini cita-cita luhur yang masih jauh dari gapaian kita di Indonesia.

Negara punya peran penting di dalam membuat rakyatnya menjadi cerdas. Di Indonesia, ini menjadi salah satu tujuan dasar dari keberadaan negara. Para pemimpin masyarakat harus bekerja sebagai pelayan rakyat demi terwujudnya kecerdasan, keadilan dan kemakmuran yang merata untuk semua. Sebagai rakyat, kita mengontrol kinerja mereka. Ini tidak bisa ditunda lagi.