Danau Toba adalah danau alami berukuran besar di Indonesia yang berada di kaldera Gunung Supervulkan. Danau ini memiliki panjang 100 kilometer (62 mil), lebar 30 kilometer (19 mi), dan kedalaman 505 meter (1657 ft). Danau ini terletak di tengah pulau Sumatra bagian utara dengan ketinggian permukaan sekitar 900 meter (2953 ft)
Membincangkan danau Toba kita memang tidak dapat berhenti sebatas pada gagasan semata. Danau Toba memiliki ikatan multidimensional dalam kehidupan komunitas yang tumbuh dan berkembang di sekitar danau itu. Manusia berkembang di pesisir Toba. Ratusan ragam budaya dan seni tercipta dan disemai di pesisir Toba. Bahkan, orang-orang hebat pun muncul di kota-kota dekat Toba.
Bagaikan mengulang sebuah prosesi penciptaan; yang dimulai dari sebuah dentuman maha dahsyat (big bang), seusainya, maka lahirlah kehidupan. Demikianlah Toba dan semua aspek multidimensional peradaban, budaya, adat, dan orang Toba. Dimulai dari sebuah dentuman yang tidak hanya memulai era dekolonisasi manusia di muka bumi, tapi juga ikut menandai berbagai penemuan di berbagai belahan dunia lain.
Letusan dahsyat Gunung Toba mampu mengubah peta morfologis, biologis dan ekologis dunia serupa era permulaan. Dentuman yang tidak hanya memecahkan kepundan Gunung Toba, tapi sekaligus memecahkan gunung itu sendiri hingga rata dengan tanah. Menciptakan bentangan baru yang kemudian menjadi dasar peradaban orang-orang di sekitarnya, kelak di kemudian hari.
Letusan gunung berapi di Sumatera itu—diperkirakan terjadi pada 75.000 hingga 70.000 tahun lampau—dapat disebut Global Ecological Disaster. Di mana sebuah bencana dapat secara sistematis mengubah peta ekologis dunia secara global. Bahkan ada teori yang menyebut bahwa letusan tersebut telah memunahkan species hominid lain, dan meninggalkan sisanya yang tetap bertahan, sebagai bentuk seleksi alamiah.
Pusuk Buhit dan Asal Muasal Si Raja Batak
Cerita Rakyat
Berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat, Danau Toba terbentuk atas kutukan seorang dewi jelmaan ikan yang kesal karena suaminya melanggar janji. Konon pada zaman dahulu terdapat seorang pemuda yang memancing ikan di sebuah danau. Betapa terkejutnya ia setelah ikan yang ditangkapnya bisa berbicara dan memohon agar tidak dimasak. Setelah sang pemuda mengabulkan permintaannya, si ikan tiba-tiba berubah menjadi seorang perempuan cantik bernama Toba.
Singkat cerita, sang pemuda dan Toba memutuskan untuk menikah. Satu syarat diajukan Toba kepada calon suaminya yaitu tak boleh ada satupun orang yang tahu perihal identitas sebenarnya dari dirinya. Pernikahan berjalan lancar hingga Toba melahirkan seorang anak laki-laki nakal bernama Samosir.
Suatu ketika Toba menyuruh Samosir untuk mengantarkan bekal makanan kepada ayahnya yang sedang bekerja di ladang. Karena kenakalannya, Samosir malah memakan sendiri bekal untuk sang ayah. Saat mengetahui hal tersebut, ayahnya marah besar dan mengumpat kepada Samosir dengan menyebutnya sebagai anak ikan. Seketika langit gelap dan hujan deras mengguyur pedesaan itu, suami Toba telah melanggar janjinya. Toba dan Samosir hilang saat air menenggelamkan perkampungan dan membentuk sebuah danau besar. Masyarakat percaya bahwa Danau Toba dan Pulau Samosir adalah jelmaan siluman ikan dan anaknya.
sementara itu bagi Masyarakat Suku Batak mempercayai bahwa Danau Toba adalah tempat bersemayamnya tujuh dewi atau Namborru. Keskralan Danau Toba hingga kini terus dijaga, setiap kegiatan yang dilakukan di sekitar danau harus diawali dengan ritual-ritual khusus agar berjalan lancar dan berkah.
Pusuk Buhit dan Asal Muasal Si Raja Batak
Pusuk Buhit adalah gunung yang awalnya bernama Gunung Toba, memiliki ketinggian 1.500 meter lebih dari permukaan laut, dan 1.077 meter dari permukaan Danau Toba.
Ada tiga kecamatan yang berada langsung di bawah gunung ini yakni, Kecamatan Sianjur Mula-mula, Kecamatan Pangururan, dan Kecamatan Harian Boho.Berawal dari Si Boru Deak Parujar yang turun dari langit. Dia terpaksa meninggalkan kahyangan karena tidak suka dijodohkan dengan Si Raja Odap-odap.
Padahal mereka berdua sama-sama keturunan dewa. Dengan alat tenun dan benangnya, Si Boru Deak Parujar yakin menemukan suatu tempat persembunyian di benua bawah.
Alhasil, dia tetap terpaksa minta bantuan melalui burung-suruhan Sileang-leang Mandi agar Dewata Mulajadi Na Bolon berkenan mengirimkan sekepul tanah untuk ditekuk dan dijadikan tempatnya berpijak. Namun sampai beberapa kali kepul tanah itu ditekuk-tekuk, tempat pijakan itu selalu diganggu oleh Naga Padoha Niaji.
Raksasa ini sama jelek dan tertariknya dengan Si Raja Odap-odap melihat kecantikan Si Boru Deak Parujar. Akhirnya, Si Boru Deak Parujar mengambil siasat dengan makan sirih. Warna sirih Si Boru Deak Parujar kemudian semakin menawan Naga Padoha Niaji.Dia mau tangannya diikat asal yang membuat merah bibir itu dapat dibagi kepadanya. Namun setelah kedua tangan berkenan diikat dengan tali pandan, Si Boru Deak Parujar tidak memberikan sirih itu sama sekali dan membiarkan Naga Padoha Niaji meronta-ronta sampai lelah.
Bumi yang diciptakan oleh Si Boru Deak Parujar terkadang harus diguncang gempa. Gempa itulah hasil perilaku Naga Padoha Niaji. Namun ketika guncangan itu mereda, Si Boru Deak Parujar mulai merasa kesepian dan mencari teman untuk bercengkerama.
Tanpa diduga dan mengejutkan, diapun bertemu dengan Si Raja Odap-Odap dan sepakat menjadi suami-istri yang melahirkan pasangan manusia pertama di bumi, dengan nama Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia. Dari generasi pertama ini, lahir tiga anak yaitu Raja Miok-miok, Patundal Na Begu dan Si Aji Lapas-lapas. Dari ketiga anak tersebut hanya raja Miok-miok memiliki keturunan yaitu Eng Banua. Generasi berikutnya, Eng Domia atau Raja Bonang-bonang yang menurunkan Raja Tantan Debata, Si Aceh dan Si Jau.
Hanya Guru Tantan Debata pula yang memiliki keturunan yaitu Si Raja Batak. Mulai dari garis Si Raja Batak, asal-usul manusia Batak bukan dianggap legenda lagi tapi menjadi Tarombo atau permulaan silsilah. Pada generasi sekarang telah dikenal aksara atau lazim disebut Pustaha Laklak.
Sebelum meninggal, Si Raja Batak sempat mewariskan ”Piagam Wasiat” kepada kedua anaknya Guru Tatea Bulan dan Raja Isumbaon. Guru Tatea Bulan mendapat ”Surat Agung” yang berisi ilmu perdukunan atau kesaktian, pencak silat dan keperwiraan. Raja Isumbaon mendapat “Tumbaga Holing” yang berisi kerajaan (Tatap-Raja ), hukum atau peradilan, persawahan, dagang dan seni mencipta.Guru Tatea Bulan memiliki sembilan anak yaitu Si Raja Biak-biak, Tuan Saribu Raja, Si Boru Pareme (putri), Limbong Mulana, Si Boru Anting Sabungan (putri), Sagala Raja, Si Boru Biding Laut (putri), Malau Raja dan Si Boru Nan Tinjo (maaf, konon seorang banci yang dalam bahasa Batak disebut si dua jambar). Dari keturunan Guru Tatea Bulan terjadi pula perkawinan incest. Antara Saribu Raja dengan Si Boru Pareme.
Ini yang menurunkan Si Raja Lontung yang kita kenal marga Sinaga, Nainggolan, Aritonang, Situmorang, dan seterusnya. Pada umumnya, orang Batak percaya kalau Si Raja Batak diturunkan langsung di Pusuk Buhit. Si Raja Batak kemudian membangun perkampungan di salah satu lembah gunung tersebut dengan nama Sianjur Mula-mula Sianjur Mula Tompa yang masih dapat dikunjungi sampai saat ini sebagai model perkampungan pertama.
Letak perkampungan itu berada di garis lingkar Pusuk Buhit di lembah Sagala dan Limbong Mulana. Ada dua arah jalan daratan menuju Pusuk Buhit. Satu dari arah Tomok (bagian Timur) dan satu lagi dari dataran tinggi Tele.
Kalau versi ahli sejarah Batak mengatakan, bahwa Si Raja Batak dan rombongannya berasal dari Thailand yang menyeberang ke Sumatera melalui Semenanjung Malaysia, dan akhirnya sampai ke Sianjur Mula-mula dan menetap disana.
Sedangkan dari prasasti yg ditemukan di Portibi yang bertahun 1208 dan dibaca oleh Prof Nilakantisari seorang Guru Besar ahli Kepurbakalaan berasal dari Madras, India menjelaskan, bahwa pada tahun 1024 kerajaan Cola dari India menyerang Sriwijaya dan menguasai daerah Barus.
Pasukan dari kerajaan Cola kemungkinan adalah orang-orang Tamil, karena ditemukan sekitar 1500 orang Tamil yang bermukim di Barus pada masa itu. Tamil adalah nama salah satu suku yg terdapat di India. Si Raja Batak diperkirakan hidup pada tahun 1200 (awal abad ke 13), Raja Sisingamangaraja ke XII diperkirakan keturunan Si Raja Batak generasi ke19 yang wafat pada tahun 1907, dan anaknya Si Raja Buntal adalah generasi ke 20.
Dari temuan di atas bisa diambil kesimpulan bahwa kemungkinan besar leluhur dari Si Raja Batak adalah seorang pejabat atau pejuang kerajaan Sriwijaya yang berkedudukan di Barus, karena pada abad ke 12 yang menguasai seluruh Nusantara adalah Kerajaan Sriwijaya di Palembang.