
Tiga nama di tengah, belakangan kita kenal sebagai tokoh kiri
Indonesia. Sedangkan nama yang terakhir, menjelma menjadi imam Darul
Islam, ekstrim kanan. Kedua kubu tadi lantas dicatat dalam sejarah
perjalanan Indonesia sebagai bagian tak terpisahkan dari riak revolusi.
Kembali ke rumah Peneleh VII, yang sempat dihuni sekitar 30 pemuda
Indonesia, Sukarno adalah satu di antaranya. Periode 1915 – 1920, Bung
Karno mondok di rumah itu, bersekolah di HBS (Hogere Burger School). Di
pondokan itu, juga bercokol tokoh pemuda yang terbilang senior saat itu,
Musso.
Muso sendiri saat itu menjabat aktivis Sarekat Islam pimpinan
Cokroaminoto. Selain di Sarekat Islam, Musso juga aktif di ISDV
(Indische Sociaal-Democratishce Vereeniging atau Persatuan Sosial
Demokrat Hindia Belanda). Tak ayal, Muso menjadi salah seorang sumber
ilmu Bung Karno dalam setiap percakapan. Seperti misalnya saat Musso
menyoal penjajahan Belanda, “Penjajahan ini membuat kita menjadi bangsa
kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.”
Oleh Bung Karno, kalimat Musso itu diulanginya dalam penuturan kepada
Cindy Adams. Itu artinya, tidak sedikit pemahaman-pemahaman baru yang
Bung Karno peroleh dari Musso. Musso sendiri empat tahun lebih tua dari
Bung Karno yang kelahiran 1901. Adapun teman seperjuangan Musso antara
lain Alimin, Semaun, dan Darsono.
Alam perjuangan menuju Indonesia merdeka itulah yang mengakibatkan
pada akhirnya mereka terpisah. Muso misalnya, pernah ditangkap polisi
Hindia Belanda sebagai aktivis politik (Sarekat Islam) dan dijebloskan
ke penjara. Bung Karno hanya bisa memantau dari pekabaran yang ada. Nah,
keluar dari penjara tahun 1920 itulah, Musso tidak lagi aktif di
Sarekat Islam, dan menggabungkan diri ke Partai Komunis Indonesia.
Sejak itu, Bung Karno dan Musso berpisah. Musso dengan gerakan
kirinya. Bung Karno dengan kuliah serta gerakan nasionalis yang ia
kembangkan bersama teman-teman seide-seideologi. Pada saat itu,
perjuangan menuju kemerdekaan, disokong oleh semua aliran. Yang kiri,
yang kanan, yang tengah… semua, tanpa kecuali, memiliki andil memerangi
penjajah. Karena itu, dalam banyak kesempatan, Bung Karno tegas
menyebut, “Komunis pun berjasa untuk kemerdekaan Indonesia.”
Syahdan, hingga proklamasi 17 Agustus 1945, Sukarno-lah yang muncul
ke tampuk pimpinan pergerakan serta didaulat menjadi Presiden pertama
untuk Republik Indonesia yang baru saja merdeka. Pasca proklamasi,
bangsa ini langsung memasuki kancah revolusi fisik yang sebenarnya.
Perang berkobar di seluruh penjuru negeri. Perang antara jiwa bergelora
yang baru terbebas dari penjajahan, dengan tentara sekutu yang
diboncengi Belanda, yang hendak menancapkan kembali kuku-kuku jajahannya
di bumi pertiwi.
Dua sahabat, Musso – Sukarno, baru berjumpa sekitar 30 tahun
kemudian, tepatnya pada 13 Agustus 1948 di Istana Negara. Banyak saksi
sejarah yang melukiskan betapa mengharukannya pertemuan itu. Mereka
berpelukan begitu hangat. Nyaris tanpa kata-kata, kecuali mata yang
sembab dirundung haru. Dari pandangan mata kedua tokoh ini sudah
tergambar, betapa tatapan mata mereka telah berbicara…. Betapa mereka
melakukan dialog hebat melalui bola-bola mata keduanya.
Sejurus kemudian, manakala suasana sudah mencair, Bung Karno memecah
keheningan dengan menceritakan hal-hal yang hebat tentang Musso.
Katanya, “Musso ini dari dulu memang jago. Ia yang paling suka
berkelahi. Ia jagi pencak (silat).” Selain itu, Bung Karno juga
menceritakan hobi Musso bermain musik. Satu lagi yang khas, Musso selalu
menyingsingkan lengan bajunya sebelum berpidato.
Itulah obrolan dua sahabat. Bagaimana dengan perbedaan ideologi
keduanya? Tentu saja, Bung Karno menyinggung tentang perkembangan
politik internasional. Bung Karno nyerocos berbicara tentang
perkembangan komunisme di dunia, dan ini membuat Musso ternganga. Demi
melihat itu, Bung Karno cepat menjawab, “Saya ini kan masih tetap
muridnya Marx, Pak Cokroaminoto, dan Pak Musso.”
Usai pertemuan yang lebih bernuansa kangen-kangenan itu… keduanya
langsung kembali kepada habitatnya. Sukarno sebagai Presiden dengan
kesibukan mengatur sistem tata-negara yang masih begitu rentan… Muso dan
PKI-nya tetap konsisten dengan visi dan misinya.
Yang terjadi setelah itu, sungguh mencengangkan. Persisnya
tiga-puluh-tujuh hari setelah pertemuan Bung Karno dan Musso, pecahlah
peristiwa monumental, Pemberontakan Madiun. Terjadilah perang statemen
antara Musso dan Bung Karno. Mereka pun saling memaki di media. Puncak
pernyataan Bung Karno yang terkenal waktu itu adalah, “Pilih Musso atau
Sukarno”. Alhasil, pemberontakan Madiun berhasil ditumpas, dan para
tokohnya dihukum.
Apa kata Bung Karno tentang Musso pada bukunya yang ditulis Cindy
Adams? Ia tetap menghormati Musso sebagai salah seorang gurunya. “Ajaran
Jawa mengatakan, seseorang yang menjadi guru kita, harus dihormati
lebih dari orangtua.” (roso daras)