Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu atau SVLK berfungsi untuk memastikan produk
kayu dan bahan bakunya diperoleh atau berasal dari sumber yang
asal-usulnya dan pengelolaannya memenuhi aspek legalitas. Kayu disebut
legal bila asal-usul kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur
penebangan, pengangkutan, pengolahan, dan perdagangan atau
pemindahtanganannya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan legal
yang berlaku. SVLK disusun bersama oleh sejumlah pihak (parapihak). SVLK
memuat standar, kriteria, indikator, verifier, metode verifikasi, dan
norma penilaian yang disepakati parapihak.
Pemerintah RI menerapkan SVLK untuk memastikan agar semua produk kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia memiliki status legalitas yang meyakinkan. Dengan SVLK, konsumen di luar negeri pun tak perlu lagi meragukan legalitas kayu yang berasal dari Indonesia. Dengan SVLK, para petani dari hutan rakyat dan masyarakat adat dapat menaikkan posisi tawar dan tak perlu risau hasil kayunya diragukan keabsahannya ketika mengangkut kayu untuk dijual. Para produsen mebel yakin akan legalitas sumber bahan baku kayunya sehingga lebih mudah meyakinkan para pembelinya di luar negeri. Indonesia memberlakukan langkah bertahap dalam penerapan SVLK. Ini sebagai langkah awal yang harus menunjukkan sertifikat legalitas sebelum menuju ke sertifikat pengelolaan hutan lestari (sustainability).
Pemberlakuan SVLK itu sendiri adalah untuk memberikan kepastian legalitas produk kayu Indonesia pada pasar global. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk perkayuan Indonesia, mengurangi praktek illegal logging dan perdagangan illegal. Lebih dari itu SVLK juga menyiratkan komitmen dalam upaya serius dan konsisten memperbaiki tata kelola kepemerintahan kehutanan Indonesia. SVLK memiliki prinsip-prinsip perbaikan tata kelola lebih baik (governance), keterwakilan para pihak dalam pengembangan sistem maupun pemantauan (representativeness) serta transparansi (transparent) yaitu sistem terbuka untuk diawasi oleh semua pihak. SVLK merupakan upaya soft approach yaitu perbaikan tata kelola pemerintahan atas maraknya penebangan dan perdagangan kayu liar.
SVLK merupakan pendekatan yang melengkapi upaya penindakan hukum (hard approach) yang lebih dulu dilakukan Pemerintah. Melalui pendekatan soft approach perbaikan atas tata usaha dan administrasi perkayuan diperbaiki melalui sistem yang dapat dipantau oleh semua pihak dan memiliki kredibilitas dalam implementasinya. SVLK juga dikembangkan di tengah tren dunia dalam perdagangan kayu yang legal. Pemerintah di beberapa negara importir memberlakukan peraturan untuk membuktikan legalitas produk kayu yang beredar, termasuk yang berasal dari impor, di masing-masing negara. Umpamanya, Pemerintah Amerika Serikat (AS) memberlakukan Lacey Act, Uni Eropa (EU) dengan Timber Regulation, Australia dengan Illegal Logging Prohibition Act, dan Jepang dengan Green Konyuho (GoHo Wood).
SVLK mulai berlaku pada Juni 2009 sejak Pemerintah RI menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 . Itu terjadi ketika Menteri Kehutanan pada saat itu, MS Kaban, menyetujui dan mengadopsi usulan parapihak menjadi mandatory Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK). Dalam perjalanannya SVLK terus disempurnakan dengan revisi P.38/Menhut-II/2009 menjadi Permenhut No. P.68/Menhut-II/2011 dan ditambah revisi Permenhut No. P.45/Menhut-II/2012 serta Permenhut No. P.42/Menhut-II/2013 . Tuntutan tentang legalitas produk dan bahan kayu sebenarnya bukan hal baru. SVLK hadir sebagai sebuah sistem yang bersifat wajib untuk memastikan dipenuhinya semua peraturan terkait dengan peredaran dan perdagangan kayu di Indonesia. Dan untuk perdagangan keluar/izin ekspor produk kayu salah satunya mensyaratkan penggunaan Dokumen V-Legal (Verified Legal), seperti disyaratkan pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64/M-DAG/PER/2012 .
Pemerintah RI menerapkan SVLK untuk memastikan agar semua produk kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia memiliki status legalitas yang meyakinkan. Dengan SVLK, konsumen di luar negeri pun tak perlu lagi meragukan legalitas kayu yang berasal dari Indonesia. Dengan SVLK, para petani dari hutan rakyat dan masyarakat adat dapat menaikkan posisi tawar dan tak perlu risau hasil kayunya diragukan keabsahannya ketika mengangkut kayu untuk dijual. Para produsen mebel yakin akan legalitas sumber bahan baku kayunya sehingga lebih mudah meyakinkan para pembelinya di luar negeri. Indonesia memberlakukan langkah bertahap dalam penerapan SVLK. Ini sebagai langkah awal yang harus menunjukkan sertifikat legalitas sebelum menuju ke sertifikat pengelolaan hutan lestari (sustainability).
Pemberlakuan SVLK itu sendiri adalah untuk memberikan kepastian legalitas produk kayu Indonesia pada pasar global. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing produk perkayuan Indonesia, mengurangi praktek illegal logging dan perdagangan illegal. Lebih dari itu SVLK juga menyiratkan komitmen dalam upaya serius dan konsisten memperbaiki tata kelola kepemerintahan kehutanan Indonesia. SVLK memiliki prinsip-prinsip perbaikan tata kelola lebih baik (governance), keterwakilan para pihak dalam pengembangan sistem maupun pemantauan (representativeness) serta transparansi (transparent) yaitu sistem terbuka untuk diawasi oleh semua pihak. SVLK merupakan upaya soft approach yaitu perbaikan tata kelola pemerintahan atas maraknya penebangan dan perdagangan kayu liar.
SVLK merupakan pendekatan yang melengkapi upaya penindakan hukum (hard approach) yang lebih dulu dilakukan Pemerintah. Melalui pendekatan soft approach perbaikan atas tata usaha dan administrasi perkayuan diperbaiki melalui sistem yang dapat dipantau oleh semua pihak dan memiliki kredibilitas dalam implementasinya. SVLK juga dikembangkan di tengah tren dunia dalam perdagangan kayu yang legal. Pemerintah di beberapa negara importir memberlakukan peraturan untuk membuktikan legalitas produk kayu yang beredar, termasuk yang berasal dari impor, di masing-masing negara. Umpamanya, Pemerintah Amerika Serikat (AS) memberlakukan Lacey Act, Uni Eropa (EU) dengan Timber Regulation, Australia dengan Illegal Logging Prohibition Act, dan Jepang dengan Green Konyuho (GoHo Wood).
SVLK mulai berlaku pada Juni 2009 sejak Pemerintah RI menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 . Itu terjadi ketika Menteri Kehutanan pada saat itu, MS Kaban, menyetujui dan mengadopsi usulan parapihak menjadi mandatory Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK). Dalam perjalanannya SVLK terus disempurnakan dengan revisi P.38/Menhut-II/2009 menjadi Permenhut No. P.68/Menhut-II/2011 dan ditambah revisi Permenhut No. P.45/Menhut-II/2012 serta Permenhut No. P.42/Menhut-II/2013 . Tuntutan tentang legalitas produk dan bahan kayu sebenarnya bukan hal baru. SVLK hadir sebagai sebuah sistem yang bersifat wajib untuk memastikan dipenuhinya semua peraturan terkait dengan peredaran dan perdagangan kayu di Indonesia. Dan untuk perdagangan keluar/izin ekspor produk kayu salah satunya mensyaratkan penggunaan Dokumen V-Legal (Verified Legal), seperti disyaratkan pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64/M-DAG/PER/2012 .